Selasa, 30 Agustus 2016

Dakwah Salafiyyah Dakwah Hikmah

Kata hikmah tidak selalu identik dengan keramahan dan kelemahlembutan. Para Ulama sendiri telah menjabarkan makna hikmah dalam banyak pengertian, di antaranya adalah ilmu, pemahaman, sunnah, adil, bijaksana, akal yang tajam, petunjuk, hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

Keagungan dan keutamaan hikmah ini telah Allah sebutkan dalam Al-Qur'an:

 يؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا

"Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barangsiapa yang diberi hikmah sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak." (Al-Baqoroh: 269)

Dari sekian makna hikmah yang disebutkan oleh para Ulama, ada definisi hikmah yang paling ringkas dan maknanya luas sebagaimana yang diterangkan oleh Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah. Beliau berkata:

أحسن ما قيل في الحكمة: قول مجاهد ومالك: إنها معرفة الحق والعمل به والإصابة في القول والعمل، وهذا لا يكون إلا بفهم القرآن والفقه في شرائع الإسلام وحقائق الإيمان

"Makna hikmah yang paling baik seperti yang dikatakan Mujahid dan Malik, bahwa hikmah adalah mengetahui al-haq dan beramal dengannya, dan selarasnya antara perkataan dan perbuatan. Hal ini tidak akan dicapai kecuali dengan memahami Al-Qur'an serta faqih terhadap syariat Islam dan hakikat keimanan." (Madarijussalikin 2/478)

Dari kalangan Ulama kontemporer, Syaikh Al-'Allamah Al-'Utsaimin, punya definisi lain yang sarat hikmah terkait kata hikmah ini yaitu "Kesempurnaan perkara dan kejelian dalam meletakkan sesuatu pada tempatnya." (Ash-Shohwah Al-Islamiyyah hal. 25)

Walhasil kelembutan dan ketegasan dalam berdakwah sifatnya sangat kondisional, kembali kepada kemampuan masing-masing dai serta pengaruhnya terhadap masyarakat. Sekalipun telah disepakati bersama bahwa hukum asal dakwah adalah dengan kelembutan. Allah berfirman:

فبما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القلب لانفضوا من حولك

"Maka disebabkan rohmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Al-'Imron: 159)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه

“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan akan memperbagusnya dan tidaklah terlepas dari sesuatu kecuali akan memperburuknya.” (HR. Muslim)

Tingkatan-Tingkatan Dakwah

Berkenaan dengan tingkatan dakwah, Allah telah menyebutkan uslub (cara) berdakwah sebagaimana dalam firman-Nya:

ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين

"Serulah (manusia) kepada jalan Robbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. Sesungguhnya Robbmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (An-Nahl: 125)

Al-Imam Ibnul Qoyyim berkata:

جعل سبحانه مراتب الدعوة بحسب مراتب الخلق، فالمتسجيب القابل الذكي الذي لا يعاند الحق ولا يأباه يدعى بطريق الحكمة، والقابل الذي عنده نوع غفلة وتأخر يدعى بالموعظة الحسنة، وهي الأمر والنهي المقرون بالرغبة والرهبة، والمعاند الجاحد يجادل بالتي هي أحسن

"Allah yang Mahasuci menjadikan tingkatan-tingkatan dakwah sesuai dengan keadaan manusia. Terhadap orang yang cerdas lagi mudah menerima kebenaran maka disampaikan kepadanya dakwah dengan jalan hikmah (ilmu). Sedangkan terhadap orang yang menyambut dakwah namun pada dirinya ada kelalaian dan sikap menunda-nunda maka disampaikan kepadanya mau’idzhoh (nasehat) berupa perintah dan larangan yang disertai dorongan keutamaan beramal dan ancaman Allah bila ditinggalkan. Adapun terhadap orang yang suka menentang dan berpaling dari kebenaran maka didebat dengan cara yang paling baik agar kebatilannya terbantah." (Miftah Darissa'adah 1/153)

Yakni dengan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan kondisi mad'u (orang yang didakwahi). Hal itu bertujuan agar sampainya maksud dan tujuan dari dakwah itu sendiri, yaitu mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran. Meskipun dakwah yang diupayakannya itu belum bisa diterima sepenuh hati.

Ingkarul Mungkar Termasuk Dakwah

Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه، وذلك أضعف الإيمان

"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia ubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)

Kemungkaran yang paling besar adalah syirik karena menyangkut hak Allah, kemudian bid'ah karena menyangkut hak Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam, kemudian maksiat.

Syaikh Al-'Allamah Asy-Syinqithi berkata, “Ketahuilah, bahwa dakwah kepada agama Allah ditempuh melalui dua cara. Yaitu dengan cara lembut dan dengan cara yang tegas. Cara yang lembut yaitu berdakwah dengan cara menyampaikan nasehat yang baik. Apabila engkau berhasil dengan cara ini maka inilah yang terbaik dan inilah yang diinginkan. Namun jika engkau gagal maka gunakan cara yang tegas yakni dengan pedang sampai hanya Allah semata yang diibadahi, ditegakkan hukum-hukum-Nya, dijalankan perintah-perintah-Nya, dan ditinggalkan larangan-larangan-Nya. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Sungguh Kami telah mengutus rosul-rosul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia." Dalam ayat ini terkandung isyarat untuk menggunakan pedang setelah tegaknya hujjah. Jika kitab-kitab tidak memberinya manfaat maka peran pasukan dalam ingkarul mungkar sangatlah berguna. Karena terkadang Allah mencegah suatu kemunkaran melalui tangan para penguasa, tidak melalui ayat-ayat Qur’an yang disampaikan.” (Adhwa’ul Bayan 2/174-175)

Syaikh Al-'Allamah bin Baz berkata, "Setiap mukmin begitu juga mukminah manakala melihat kemungkaran maka wajib atasnya mengubahnya dengan tangannya jika mampu. Seperti penguasa yang menjalankan hukum had, pengingkaran ayah terhadap anak dan isterinya, atau seseorang terhadap keluarganya, semua itu dilakukan sesuai dengan batas kemampuan masing-masing. Seperti bila mendapati khomr maka dia buang dan seterusnya. Namun jika tidak mampu mengingkarinya dengan tangan maka ia ingkari dengan lisannya yaitu menasehati yang bersangkutan. Jika tidak mampu dengan tangan dan lisan maka ia ingkari dengan hatinya yakni membenci kemungkaran tersebut dan meninggalkannya." (Fatawa Nur 'alad Darb 18/308 secara ringkas)

Jadi jika seandainya ada orang atau sekelompok orang mampu mengingkari kemungkaran dengan tangannya, yakin mewujudkan kemaslahatan yang besar dan mengurangi mafsadah, maka hendaknya dia upayakan sekalipun pada asalnya hal itu tanggungjawab penguasa. Karena tujuan dari ingkarul mungkar itu sendiri adalah berkurangnya kemungkaran dan terwujudnya kebaikan. Seperti perbuatan Shohabat Jundub bin Ka'ab dan kawan-kawan yang melawan tukang sihir ketika membikin pertunjukan di istana gubernur di era pemerintahan 'Utsman bin 'Affan.

Maka dakwah dengan sikap tegas selama pada tempatnya, dan tidak melampaui batas, itu bukanlah kezaliman, bahkan termasuk sikap hikmah yang dituntut dalam berdakwah. Sedangkan kelembutan tidak berarti lemah, bijak sana sini, lari dari tanggungjawab. Andaikata resikonya mati lantaran membela agama, maka dia tergolong syahid. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من قتل دون ماله فهو شهيد، ومن قتل دون أهله فهو شهيد، ومن قتل دون دينه فهو شهيد، ومن قتل دون دمه فهو شهيد 

"Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid. Dan barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi beliau menshohihkannya, Syaikh Al-Albani dalam "Shohih At-Targhib wat Tarhib" 1411)

Betul, Syaikh bin Baz menyampaikan, "Dakwah di zaman ini butuh dengan kelembutan", akan tetapi dalam kesempatan lain beliau mengatakan, "Dakwah butuh dengan ketegasan seraya menukil firman Allah, “Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik, kecuali terhadap orang yang zalim dari mereka.” Yakni bila ada kemampuan dan pengaruh kemaslahatan yang besar.

Fikri Abul Hasan

1 komentar:

  1. Allohu akbar! Indahnya hikmah lmbut dan tegas pada porsinya

    BalasHapus