Minggu, 04 Februari 2018

Aqidah Mengungkap Siapa Kawan Siapa Lawan (Urgensi Aqidah Di Masa Fitnah)

Aqidah dalam bahasa Arab berasal dari kata "al-‘aqd" (ikatan), "at-tawtsiq" (keyakinan), "al-ihkam" (mengokohkan), "ar-robthu biquwwah" (mengikat dengan kuat). Sedangkan menurut istilah syariat adalah keimanan yang pasti dan tidak ada sedikitpun keraguan pada diri orang yang meyakininya.

Adapun yang dimaksud dengan "Aqidah Islamiyyah" adalah keimanan yang pasti kepada Allah dengan menjalankan kewajibannya dari hak-hak tauhid dan ketaatan, dan keimanan yang pasti kepada malaikat-malaikat Allah, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir, taqdir yang baik dan buruk, dan keimanan yang pasti terhadap semua perkara yang ghoib, berita-berita, serta ushul (prinsip-prinsip) agama, baik secara ilmiyyah maupun amaliyyah. (Mujmal Ushul Ahlissunnah wal Jama’ah fil 'Aqidah - Syaikh Nashir bin Abdil Karim Al-'Aql)

Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para shohabat beliau amat besar perhatiannya terhadap perbaikan aqidah. Dimulai dari pembekalan tauhid yaitu menanamkan keikhlasan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan sehingga manusia menghambakan dirinya hanya kepada Allah. Hal ini berlangsung selama 13 tahun di Makkah. Kemudian mutaba'ah yaitu menjadikan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam sebagai teladan dalam pengamalan dan menjauhi segala macam kebid'ahan.

Ikhlas dan mutaba'ah kedua prinsip ini yang menjadi landasan utama dalam beraqidah. Keduanya adalah realisasi dari dua kalimat syahadat. Yaitu syahadat tauhid "Laa ilaha illallah" dan syahadat tho'ah "Muhammad Rosulullah". Allah berfirman:

فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملاصالحا ولايشرك بعبادة ربه أحدا

"Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya, maka hendaknya dia beramal sholih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya dalam beribadah kepada-Nya." (Al-Kahfi: 110)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafii menjelaskan, bahwa yang dimaksud beramal sholih adalah mencocoki tuntunan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan tidak mempersekutukannya dengan sesuatupun adalah ikhlas memurnikan niat dari segala macam kesyirikan.

Maka tidak mungkin persatuan hakiki bisa terwujud bila aqidah diabaikan. Tidak mungkin  ada ukhuwwah imaniyyah bila tidak dibangun di atas aqidah. Tidak mungkin seseorang mencintai Nabi shollallahu 'alaihi wasallam akan tetapi dia bermesraan dengan dai-dai penyebar syirik dan bid'ah. Tidak mungkin juga seseorang memperjuangkan syariat dengan benar bila dia kesampingkan perkara aqidah.

Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa perkara aqidah merupakan prinsip beragama yang tidak bisa ditawar-tawar. Dengan aqidah yang benar akan lahir sikap pengagungan terhadap Al-Qur'an was Sunnah. Dalil-dalil agama dipahami dengan semangat ikhlas dan mutaba'ah, bukan semangat harokah yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok di atas segala-galanya.

Aqidah juga menentukan celaka bahagianya nasib orang di akhirat, apakah dia mati di atas aqidah yang benar ataukah di atas aqidah yang menyimpang? Karena itu persahabatan dan hubungan darah bila tidak dibangun di atas landasan aqidah kelak di akhirat akan menjadi permusuhan.

Para Ulama Salaf telah mewariskan umat ini berupa kitab-kitab aqidah yang berisi penjelasan disertai bantahan atas bid'ah-bid'ah dalam beraqidah. Ini nikmat Allah yang sangat besar, sudah semestinya kita pelajari kitab-kitab para Ulama Salaf agar tidak menyelisihi aqidahnya Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para shohabat. Sebab satu hal saja dari perkara aqidah diingkari maka dia telah keluar dari jalannya Ahlussunnah wal Jamaah.
____________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar