Rabu, 24 Januari 2018

Benarkah Ritual "Tahlilan" (Peringatan Kematian) Dianjurkan?

Abu Nu'aim Al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Thawus, dia berkata: 

ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

"Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut." (Hilyah Aulia 4/11)

Apakah riwayat ini bisa menjadi landasan dianjurkannya kegiatan tahlilan? Jazakallah khairan Ustadz

Jawab: Riwayat yang dinukil di atas adalah atsar Thowus (perkataan seorang tabi'i) bukan hadits Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Statusnya mursal dan atsar ini tidak dapat dijadikan hujjah lantaran bertentangan dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al-Barro bin 'Azib (Shohih Abu Dawud) bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mengabarkan fitnah kubur hanya terjadi sekali bukan tujuh hari.

Atsar Thowus ini juga menyelisihi hadits Nabi shollallahu 'alaihi wasallam yang memerintahkan untuk membuat makanan bagi keluarga Ja'far bin Abi Tholib setelah kematiannya. Bukan sebaliknya keluarga Ja'far yang repot-repot menyajikan hidangan untuk banyak orang dengan alasan sedekah.

Oleh sebab itu Al-Imam Asy-Syafii berkata, “Aku menyukai bila tetangga mayyit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayyit pada hari kematiannya dan pada malam harinya yang dapat mengenyangkan, karena hal ini termasuk sunnah." (Al-Umm 1/317)

Andaikata atsar Thowus ini boleh dijadikan hujjah, maka itu hanya sebatas sedekah makan selama tujuh hari tanpa ada amalan tertentu yang dilanjutkan dengan hari-hari lain seperti yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat. Dan tentunya juga dengan mempertimbangkan kemampuan masing-masing orang.

Begitupula dengan pandangan Al-Imam As-Suyuthi terkait masalah ini, beliau tidak menganggap sedekah makan sebagai perkara ushul (pokok) agama yang harus diadakan. Tidak seperti yang diklaim oleh sebagian kalangan dimana orang yang tidak mengadakannya dianggap tercela melecehkan mayyit. Demikian yang dijelaskan oleh para Ulama.

Maka beragama di dalam Islam haruslah merujuk kepada pengamalan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabatnya. Karena beliau shollallahu 'alaihi wasallam orang yang paling mengerti bagaimana cara mempersembahkan ibadah yang diridhoi oleh Allah ta'ala. Sedangkan orang yang beramal tanpa petunjuk Nabi shollallahu 'alaihi wasallam hukumnya tertolak meski niatnya baik. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka tertolak." (HR. Muslim)
___________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar