Minggu, 12 November 2017

Penyimpangan Madzhab Murjiah

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan menjelaskan, “Bahwa murjiah bertolak belakang dengan khowarij. Murjiah menafikan masuknya amal dalam iman, amal tidak masuk kategori iman, sehingga seseorang tetap dianggap mukmin meski tidak beramal, sekalipun dia meninggalkan amalan seluruhnya. 

Murjiah terbagi menjadi beberapa kelompok:

1. Al-Jahmiyyah, pemahaman yang menganggap iman hanya sebatas pengenalan hati. Jika seseorang telah kenal hatinya dengan iman maka dia dianggap mukmin sekalipun tidak tertanam keyakinan dalam hatinya. Ini kelompok murjiah yang paling ekstrim.

2. Al-Asya’iroh, menganggap iman cukup dalam hati berupa i’tiqod (keyakinan) semata, tidak direalisasikan secara lisan maupun amal perbuatan.

3. Al-Karromiyyah, menganggap iman hanya sebatas di lisan sekalipun di dalam hati tidak ada keyakinan.

4. Murjiatul Fuqoha’, menganggap iman cukup dengan i’tiqod dalam hati dan secara lisan, meski tidak beramal dengan perbuatan.

Semua kelompok murjiah di atas sepakat bahwa amal tidak masuk dalam kategori iman, namun mereka berselisih pendapat mengenai amalan hati dan perkataan lisan. 

Adapun Ahlussunnah meyakini iman sebagai perkataan secara lisan, i’tiqod dalam hati, dan amal dengan anggota badan. Iman dapat bertambah dengan ketaatan, berkurang karena kemaksiatan. Akan tetapi, keimanan tidak akan sirna secara mutlak oleh sebab ketiadaan suatu amal, tidak sebagaimana yang diyakini khowarij, dan keimanan tidak akan tersisa dengan ketiadaan amal secara total, tidak sebagaimana yang diyakini murjiah. Sebab, ada amalan yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekufuran, seperti meninggalkan sholat. Ada amalan yang bila ditinggalkan tidak menyebabkan kekufuran akan tetapi terjatuh dalam dosa besar. Inilah rincian manhaj aqidah Ahlussunnah wal Jamaah.

Ahlussunnah memadukan antara ayat-ayat al-wa’d (janji ampunan) yang dipakai oleh murjiah, dan ayat-ayat al-wa’id (ancaman siksaan) yang dipakai oleh khowarij. Maka Ahlussunnah menggabungkan antara ayat “al-wa’d wal wa’id”, menafsirkannya, mengikatnya antara satu dengan yang lain, dan mengembalikan ayat-ayat mutasyabihat (samar) kepada ayat-ayat muhkamat (gamblang) sehingga Ahlussunnah beramal secara proporsional. Dan mereka berkata (sebagaimana dalam surat Al-‘Imron ayat 7), “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), (baik yang muhkamat maupun mutasyabihat) semuanya datang dari sisi Robb kami.” (It-haful Qori bit Ta’liqot ‘ala Syarhissunnah Al-Barbahari 2/64-66)

Maka perkataan sebagian orang, “yang penting hatinya”, “Islam itu di hati”, “meski meninggalkan amalan sama sekali”, adalah perkataan murjiah yang batil.

Bagaimana dengan riwayat yang menyebutkan, “Dia tidak pernah beramal sama sekali”? Para Ulama menjelaskan bahwa riwayat itu terkait orang yang memiliki ‘udzur sehingga terhalang dari beramal, atau seperti orang yang baru masuk Islam setelah bersyahadat namun kemudian ajalnya datang. Jadi bukan sengaja-sengaja meninggalkan amalan sama sekali seperti yang dipahami oleh kelompok neo murjiah yang bermudah-mudahan dalam menolak takfir (memvonis kafir) orang-orang yang terbukti atas kekafirannya. 

Al-Imam Asy-Syafii berkata:

وكان الإجماع من الصحابة و التابعين من بعدهم ومن أدركناهم يقولون الإيمان قول وعمل ونية لا يجزئ واحد من الثلاثة إلا بالأخر

“Adalah ijma’ (kesepakatan) para Shohabat, tabi’in dan para Ulama setelah mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amal dan niat. Tidak sah hanya mencukupkan salah satunya saja tanpa menggandengkannya dengan yang lain.” (Al-Iman hal. 197 - Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

قال محمد بن نصر أن الأمة أجمعت على أن العبد لو آمن بجميع ما ذكره النبي من عقود القلب في حديث جبريل من وصف الإيمان ولم يعمل بما ذكره من وصف الإسلام أنه لا يسمى مؤمن

“Muhammad bin Nashr berkata, bahwa para Ulama telah berijma’ (sepakat) seandainya seseorang beriman dengan seluruh apa yang disebutkan Nabi berupa amalan hati seperti yang disebutkan dalam hadits Jibril mengenai rukun iman, akan tetapi dia tidak beramal dengan apa yang disebutkan Nabi dari rukun Islam (syahadat, sholat, puasa, zakat, haji) maka dia tidak disebut seorang mukmin.” (Majmu’ Fatawa 7/336)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berkata:

وبذلك يظهر خطأ جهم ومن اتبعه في زعمهم أن مجرد إيمان دون إلإيمان الظاهر ينفع في الآخرة فإن هذا ممتنع

“Dengan begitu jelaslah kesalahan Jahm (pencetus paham Jahmiyyah) dan orang-orang yang mengikutinya, dimana mereka menyangka bahwa iman secara batin semata tanpa iman secara lahir/perbuatan akan bermanfaat di akhirat. Ini hal yang mustahil.” (Majmu’ Fatawa 7/553)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar