Selasa, 14 November 2017

Mengimani Taqdir Sesuai Syariat

Iman kepada taqdir (ketetapan Allah) yang baik maupun yang buruk termasuk salah satu rukun iman yang enam, sebagaimana sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر، وتؤمن بالقدر خيره وشره

“Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rosul-rosul-Nya, hari akhir, dan engkau beriman kepada taqdir yang baik maupun yang buruk." (HR. Muslim)

Ketentuan Allah dalam taqdir-Nya berlaku bagi seluruh makhluk tanpa terkecuali. Semuanya telah Allah tulis limapuluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كتب الله مقادير الخلائق قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسبن ألف سنة

“Allah telah menulis taqdir-taqdir seluruh makhluk sejak limapuluh ribu tahun sebelum Allah ciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim)

Aqidah inilah yang diyakini para Shohabat Nabi dan para Ulama sepeninggal mereka. Dari Ibnu Ad-Dailami berkata:

لقيت أبي بن كعب، فقلت: يا أبا المنذر إنه قد وقع في نفسي شيء من هذا القدر فحدثني بشيء لعله يذهب من قلبي، قال: لو أن الله عذب أهل سمواته وأهل أرضه لعذبهم وهو غير ظالم لهم ولو رحمهم كانت رحمته لهم خيرا من أعمالهم ولو أنفقت جبل أحد ذهبا في سبيل الله عز وجل وما قبله الله منك حتى تؤمن بالقدر وتعلم أن ما أصابك لم يكن ليخطئك وما أخطأك لم يكن ليصيبك ولو مت على غير ذلك لدخلت النار، قال: فأتيتُ حذيفةَ فقال لي مثلَ ذلك وأتيتُ ابن مسعود فقال لي مثل ذلك وأتيتُ زيدَ بن ثابت فحدثني عن النبي صلى الله عليه وسلم مثلَ ذلك

“Aku mendatangi Ubay bin Ka’b dan aku bertanya, "Wahai Abul Mundzir, sungguh terbesit dalam diriku sesuatu yang kurang baik tentang taqdir. Sampaikanlah kepadaku tentang hal itu, semoga Allah menghilangkannya dari hatiku. Ubay berkata, "Kalau sekiranya Allah berkehendak mengazab penduduk langit dan bumi sungguh tidaklah Dia menzalimi hamba-Nya, dan kalau sekiranya Allah merahmati mereka maka sungguh rahmat-Nya tentu lebih baik daripada amalan-amalan mereka. Andaisaja engkau berinfaq sebesar gunung Uhud emas di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada taqdir. Engkau meyakini bahwa apa yang telah ditaqdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditaqdirkan meleset darimu maka tidak akan menimpamu. Sungguh, sekiranya engkau mati dalam keadaan tidak beriman kepada taqdir, engkau akan masuk ke dalam neraka!" Aku mendatangi Hudzaifah maka dia menyebutkan hal yang sama, aku datangi Ibnu Mas'ud maka dia juga menyebutkan hal yang sama, aku datangi Zaid bin Tsabit maka dia menyebutkan hadits Nabi shollallahu 'alaihi wasallam hal yang sama." (HR. Ahmad 20607 - Syaikh Syu'aib Al-Arna'uth berkata, "Sanadnya kuat")

Orang yang pertama kali menyimpang berbicara masalah taqdir adalah seorang yang benama Ma'bad Al-Juhani di Bashroh. Hal itu disampaikan kepada Ibnu 'Umar, maka beliau berkata, “Kalau engkau bertemu mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas  diriku! Demi Dzat yang Abdullah bin ‘Umar bersumpah dengan-Nya, sekiranya mereka punya emas sebesar gunung Uhud lalu diinfaqkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai mereka beriman kepada taqdir.” (Riwayat Muslim)

Para Ulama menjelaskan, ada empat hal utama terkait keimanan kepada taqdir:

1. Ilmu Allah yakni beriman bahwa Allah Mahamengetahui segala sesuatu di alam ini secara rinci, baik yang belum terjadi, sedang terjadi, sudah terjadi, tidak akan terjadi atau bagaimana kalau terjadi.

2. Penulisan taqdir di Lauhul Mahfudzh.

3. Kehendak Allah yakni mengimani segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi dan tidak ada yang terjadi di luar kehendak-Nya. Kehendak Allah tidak serupa dengan kehendak makhluk. Manusia bila menginginkan kejelekan maka dia orang yang bodoh, jika menginginkan kebaikan maka dia orang yang taat. Sedangkan Allah jika menghendaki kejelekan tidaklah dikatakan bodoh, dan jika menghendaki kebaikan tidaklah dikatakan taat.

4. Allah satu-satu-Nya pihak yang Mahapencipta. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk, dan makhluk Allah adalah ciptaan-Nya. Amalan manusia baik dan buruknya adalah ciptaan Allah, kendati Allah tidak berbuat buruk atau berlaku zalim kepada hamba-Nya. 

Empat hal inilah yang menjadi landasan utama dalam memahami esensi taqdir dalam syariat, sebagaimana dalil-dalilnya telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an was Sunnah. Bila salah satunya diabaikan maka dia akan menyimpang dari jalan yang lurus.

Kendati demikian, beriman kepada taqdir tidaklah berarti pasrah meninggalkan usaha ketaatan kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya. Karena di sana ada kehendak Allah yang bersifat kauni (irodah kauniyyah) meliputi segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan dimurkai oleh-Nya. Hal itu pasti terjadi disukai atau tidak. Di sana juga ada kehendak Allah yang bersifat syar'i (irodah syar'iyyah) yang hanya dalam perkara yang dicintai dan diridhoi-Nya. Ini berarti Allah menghendaki ketaatan dalam syariat-Nya, meski masih ada saja manusia yang tetap dalam kekufurannya.

Demikian pula ketentuan Allah dalam taqdir-Nya yang Mahasempurna jangan sekali-kali diserupakan dengan keputusan seorang hakim di pengadilan. Tentu akan dianggap zalim bila seorang hakim memvonis 20 tahun penjara terhadap seseorang sementara orang yang divonisnya itu belum berbuat apa-apa. Berbeda dengan ketentuan Allah dalam taqdir-Nya bahwa si Fulan di surga, si 'Allan di neraka, karena Allah Mahatahu apa yang akan terjadi pada hamba-Nya, bahkan Allah Mahamengetahui segala sesuatu sebelum sesuatu itu ada.

Adapun orang-orang yang menolak beriman kepada taqdir, seperti kelompok Syiah Rofidhoh, Mu’tazilah dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka menyangka, bahwa kemunduran umat disebabkan oleh keimanannya kepada taqdir. Umat menjadi malas lantaran beriman kepada taqdir. Ini jelas pemikiran yang sesat dalam memahami hakikat taqdir. Seolah beriman kepada taqdir berarti menafikan usaha dan beranggapan bahwa manusia punya kehendak pilihan di luar kehendak Allah, atau mengklaim manusia berikhtiar dulu baru kemudian Allah menetapkan!

Sebaliknya, kelompok Jabriyyah tenggelam dalam kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan dengan alasan semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah. Menurut mereka, semua yang terjadi pada diri manusia seperti matahari yang terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat dengan mengenyampingkan syariat Allah, serta menafikan kehendak manusia yang diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih mana jalan yang baik dan jalan yang buruk, meski kehendak manusia itu di bawah kehendak Allah.

Sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah berada di tengah-tengah antara dua kelompok ekstrim di atas. Ahlussunnah mengimani taqdir Allah dengan tetap berusaha, berdoa, beramal serta berjihad guna meraih keridhoan-Nya. Bahkan melalui doa dan amalannya itu kelak Allah akan mrmberinya kemudahan.

Sebagai contoh, bila si Fulan berdoa dan beramal, maka taqdirnya di masa yang akan datang ada kemudahan, namun jika dia tidak berdoa dan meninggalkan amal maka taqdirnya yang terjadi lain. Inilah yang dimaksud sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, "Beramal-lah kalian karena setiap orang akan dimudahkan" (HR. Al-Bukhori dan Muslim). Hadits ini tentang suatu kaum yang ingin bersandar dengan taqdir namun tidak mau beramal.

Begitupula yang dicontohkan 'Umar bin Al-Khotthob, beliau memutuskan kembali ke Madinah dan mengurungkan niatnya ke negeri Syam lantaran adanya wabah Tho'un. Maka seseorang berkata, "Apakah engkau akan lari dari taqdir Allah wahai amirul mukminin?", 'Umar menjawab, "Ya, kita lari dari taqdir Allah menuju taqdir Allah." (Riwayat Muslim)

Maka taqdir dilawan dengan taqdir, begitu yang diajarkan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabatnya.

Keimanan kepada taqdir juga memiliki hikmah yang sangat besar. Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i menyebutkan, “Keimanan kepada taqdir membuahkan niat yang ikhlas dalam beribadah kepada Allah. Orang yang beriman kepada taqdir tidak akan beramal untuk mencari keridhoan manusia, dia menyadari bahwa tidak ada seorangpun yang mampu mendatangkan manfaat kepadanya dengan sesuatu yang tidak Allah taqdirkan, dan tidak pula ada yang mampu menimpakan mudhorot sedikitpun atas dirinya dengan sesuatu yang tidak Allah taqdirkan. Keimanan kepada taqdir juga membuahkan keberanian dan kemantapan hati, dia sadar bahwa dirinya tidak akan mati bila ajalnya belum datang. Keimanan kepada taqdir juga akan memotivasi seseorang sehingga lebih bersabar dan mengharap pahala dari Allah.” (Al-Jami’us Shohih Fil Qodar hal. 11-12)

Inilah manhaj aqidah Salafussholih dalam memahami hakikat taqdir. Penyimpangan dalam masalah taqdir bisa membatalkan keislaman seseorang, wa billahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar