Jumat, 29 September 2017

Sikap yang Benar atas Kematian Al-Husain bin 'Ali

Di bulan Muharrom ini banyak orang berkomentar di seputar sejarah terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali cucu Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dari jalur Fathimah.

Ada yang berpendapat bahwa pembunuhan Al-Husain adalah pembunuhan terhadap kholifah Islam yang wajib ditaati dan semestinya segala urusan umat diserahkan kepada beliau. Ini adalah pendapat kelompok Syiah yang dikenal dengan pengkultusannya terhadap Al-Husain rodhiyallahu 'anhu. Adapula yag berpendapat pembunuhan Al-Husain merupakan tindakan yang tidak bisa dipersalahkan, pasalnya ia telah memberontak kepada kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyah yang diklaim ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin. Ini adalah pendapatnya kelompok Nashibah yang dikenal murka terhadap ‘Ali dan keluarganya.

Sikap Syiah maupun Nashibah adalah dua sikap yang tidak dibenarkan menurut syariat. Mengkultuskan Al-Husain adalah sikap ifroth (melampaui batas) yang dapat menjerumuskan pelakunya kepada kesyirikan. Sebaliknya, membenci Al-Husain dan meridhoi pembunuhannya adalah sikap tafrith (meremehkan) kedudukan beliau yang memiliki keutamaan. Adapun sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam membimbing kita untuk berlaku wasath (pertengahan) antara dua kelompok ekstrim di atas.

Sikap Terhadap Pembunuhan Al-Husain

Tidak syakk lagi, peristiwa terbunuhnya Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu adalah  musibah yang menimpa umat Islam. Beliau terbunuh secara zalim dan teraniaya. Begitupula dengan petaka yang menimpa ahli baitnya. 

Kendati demikian, para Ulama Ahlussunnah menegaskan bahwa Al-Husain wafat sebagai syahid, kemuliaan, terangkatnya derajat beliau, dan kedekatannya kepada Allah. Sebab Allah telah memilih dirinya untuk bertolak ke negeri Akhirat yang kekal menuju Surga-Nya sebagai ganti dari kehidupan dunia ini.

Para Ulama juga menegaskan, alangkah baiknya jika Al-Husain tidak keluar menuju Kufah. Meski para pembesar Shohabat seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin Az-Zubair, serta kerabat Al-Husain sendiri tengah melarang beliau dan mencegahnya untuk tidak keluar. Namun beliau tetap yakin dengan ijtihadnya, bahwa apa yang dijalaninya itulah yang menepati al-haq meski akhirnya beliau mati terbunuh dengan teraniaya. Demikianlah taqdir Allah, apa yang Allah taqdirkan pasti terjadi, sekalipun banyak orang tidak menghendakinya.

Sesungguhnya peristiwa terbunuhnya Al-Husain tidaklah lebih dahsyat bila dibandingkan dengan terbunuhnya para Nabi ‘alaihimussholatu wassalam. Sebagaimana yang kita ketahui, betapa tragisnya pembunuhan Nabi Yahya ‘alaihissalam dan ayah beliau Nabi Zakariyya. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Umar bin Al-Khotthob, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhum. Tentu kedudukan mereka semua lebih utama dibandingkan Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh menampar-nampar wajahnya atau merobek-robek pakaiannya tatkala mengingat terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib. Camkan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut:

ليس منا من لطم الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية

“Bukanlah termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek pakaiannya (saat ada orang yang mati), dan menyerukan seruan-seruan jahiliyyah.” (HR. Al-Bukhori Bab: “Laisa Minna Man Syaqqol Juyub” no. 1294 dan Muslim Bab: “Tahrim Dhorbil Khudud no. 103)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم برئ من الصالقة والحالقة والشاقة

“Sesungguhnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam berlepas diri dari “Ash-Sholiqoh”, Al-Haliqoh, dan Asy-Syaqqoh.” (HR. Al-Bukhori Bab: “Maa Yunha ‘Anil Halq ‘indal Mushibah” no. 1296 dan Muslim Bab: “Tahrim Dhorbil Khudud no. 140, 167)

Ash-Sholiqoh yaitu wanita yang menjerit-jerit. Al-Haliqoh yaitu wanita yang memotong rambut. Asy-Syaqqoh yaitu wanita yang merobek-robek pakaiannya. Semua itu dilakukan untuk meratapi kematian seseorang.

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

النائحة إذا لم تتب قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ودرع من جرب

“Orang yang meratapi mayit jika dia mati belum sempat bertaubat daripadanya, maka pada hari Kiamat akan dikenakan pakaian dari timah yang panas dan baju dari kudis.” (HR. Muslim Bab: “Tasydid fin Nihayah” no. 934)

Justru semestinya sikap seorang muslim saat tertimpa musibah sebagaimana firman Allah:

الذين إذا أصابتهم مصيبة قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون

“Yaitu apabila orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun” Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Al-Baqoroh: 156)

Tiga Kelompok dalam Menyikapi Pembunuhan Al-Husain

Setidaknya ada tiga golongan yang masing-masing memiliki perbedaan sikap terhadap kematian Al-Husain rodhiyallahu 'anhu.

Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pembunuhan Al-Husain merupakan tindakan yang tidak bisa disalahkan. Karena ia memberontak kepada seorang pemimpin dan ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin. Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه

“Barangsiapa yang mendatangi kalian sedang urusan kalian di tangan satu kepemimpinan, mereka ingin memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia siapapun orangnya.” (HR. Muslim Bab: “Hukmu Man Farroqo Amrol Muslimin wa Huwa Mujtami” no. 1852)

Di sini Al-Husain dinilai ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin, sedangkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapapun orangnya", maka peristiwa pembunuhan Al-Husain tidak bisa dipersalahkan. Ini pendapat kelompok Nashibah yang dikenal kebenciannya terhadap ‘Ali bin Abi Tholib dan keluarga beliau.

Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa Al-Husain adalah pemimpin yang wajib ditaati. Semestinya segala urusan umat haruslah diserahkan kepada beliau. Ini adalah pendapatnya kelompok Syiah yang dikenal pengkultusannya terhadap ‘Ali bin Abi Tholib dan keluarga beliau.

Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu terbunuh secara zalim. Al-Husain pada waktu itu bukanlah sebagai kholifah dan bukan pula terbunuh sebagai pemberontak. Akan tetapi ia terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahid. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة

“Al-Hasan dan Al-Husain dua pemimpin para pemuda penduduk Surga.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan beliau Bab: “Manaqibul Hasan wal Husain” no. 3768)

Pendapat inilah yang adil dan pertengahan, pendapat ini yang dipegang oleh para Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah.

Amalan yang Diada-adakan Pasca Wafatnya Al-Husain

Syaikhul Islam ibnu Tamiyyah berkata, “Pasca terbunuhnya Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu, orang-orang membuat amalan yang diada-adakan yang tidak ada tuntunanya dari Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan para Shohabat beliau yang masih hidup kala itu.

Pertama, mengungkapkan kesedihan dan ratapan yang dilakukan setiap hari ‘Asyuro (10 Muharram) dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan, dan melantunkan bait-bait syair kesedihan. Juga amalan-amalan lain yang diada-adakan seperti mencaci dan melaknat para Shohabat Nabi rodhiyallahu ‘anhum, dan menggolongkan orang yang tidak berdosa bersama pelaku yang sebenarnya.

Kemudian mereka membacakan peristiwa tentang terbunuhnya Al-Husain yang kebanyakannya berisi kedustaan dan cerita-cerita fiktif. Orang yang membikin amalan-amalan yang mengada-ada seperti ini tiada lain bertujuan untuk membuka pintu fitnah dan memecah belah umat. Jika tidak demikian, maka apalagi maksud mereka mengulang-ngulang pembacaan peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri hingga berdarah, mengagungkan dan bergantung kepada masa lampau serta mengusap-ngusap kuburan?

Kedua, bersenang-senang dan bergembira ria dengan membagi-bagikan makanan dan manisan, dan menggembirakan keluarganya pada hari terbunuhnya Al-Husain.

Sebagaimana yang telah diketahui, dahulu di Kufah ada orang-orang yang membela Ahlul Bait yang dipimpin oleh Al-Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, seorang pendusta yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Di sisi lain ada pula orang-orang yang membenci Ahlul Bait di antaranya Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi. Maka penyimpangan tidaklah dibantah dengan penyimpang yang lain, akan tetapi penyimpangan dibantah dengan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,  “Yaitu apabila orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun” Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Mukhtashor Minhajussunnah 5/554-555)

(Faidah dari Kitab “Hiqbah minat Tarikh Maa Bayna Wafatin Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ila Maqtalil Husain rodhiyallahu ‘anhu” hal. 228 – 230 karya Syaikh ‘Utsman Al-Khomis, Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar