Rabu, 20 September 2017

Anjuran Puasa di Bulan Muharrom & Hukum Perayaan Tahun Baru Islam

Mohon dijelaskan Ustadz tentang keabsahan hadits yang anjuran puasa di hari terakhir Dzulhijjah dan hari pertama Muharram? Dan bagaimana hukum perayaan tahun baru Islam? Jazakumullah khair.

Jawab: Hadits yang dimaksud sebagai berikut:

من صام آخِر يوم من ذي الحجَّة، وأول يوم من المحرَّم، فقد ختم السَّنة الماضية، وافتتح السنة المستقبلة بصوم جعله الله كفَّارة خمسين سنة

“Barangsiapa berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharrom sungguh dia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa, Allah menjadikan baginya kaffaroh (penggugur dosa) selama limapuluh tahun.”

Hadits ini dinilai palsu oleh para Ulama karena dalam sanadnya ada dua rowi pendusta dan pemalsu hadits yaitu Al-Harowi dan Wahb. (Al-Maudhu’at 2/566 - Ibnul Jauzi)

Akan tetapi bila seseorang ingin berpuasa di awal bulan karena fadhilah (keutamaan) bulan Muharrom maka hukumnya dianjurkan. Dalilnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

“Sebaik-baik puasa setelah bulan Romadhon adalah puasa di bulan Allah Muharrom.” (HR. Muslim 1163)

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata, “Hadits ini menegaskan bahwa Muharrom adalah seutama-utama bulan untuk berpuasa (setelah Romadhon).” (Syarh Shohih Muslim 8/55)

Adapun perayaan tahun baru Islam yang dilakukan oleh sebagian umat Islam maka perbuatan ini tidak ada contohnya dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, para Shohabat beliau maupun para Ulama madzhab yang empat. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka tertolak." (HR. Muslim 1718)

Ada penjelasan yang bagus dari Syaikh Al-'Allamah Al-Utsaimin terkait perayaan hari, bulan maupun tahun, beliau berkata:

تخصيص الأيَّام أو الشَّهور، أو السَّنوات بعيدٍ مرجعه إلى الشَّرع وليس إلى العادة؛ ولهذا لما قَدِمَ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا؛ فَقَالَ: «مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ»؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ؛ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ»

"Pengkhususan hari-hari tertentu, bulan-bulan tertentu, tahun-tahun tertentu sebagai hari raya maka kembali pada ketentuan syariat, bukan kembali kepada adat (kebiasaan). Karenanya ketika Nabi shollallahu ‘alaihi wa 'ala alihi wasallam mendatangi Madinah penduduknya punya dua hari raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya, maka beliau bertanya, “Ini dua hari apa?” Mereka berkata, “Ini hari yang kami biasa bersenang-senang di masa jahiliyyah. Maka Rosulullah shollalahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sungguh Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik yaitu hari raya ‘Iedul Adh-ha dan ‘Iedul Fithri.“

ولو أنَّ الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدَثَ النَّاس لكلِّ حدَثٍ عيدًا، ولم يكن للأعياد الشرعيَّة كبير فائدة

Andaikata hari-hari perayaan dalam Islam itu mengikuti kebiasaan masyarakat maka manusia akan mengada-ada sekehendaknya setiap kali ada kesempatan untuk menjadikan hari raya. Sedangkan hari-hari perayaan yang syar’i tidak menjadi lebih besar faidahnya.

ثمَّ إنَّه يُخشَى أنَّ هؤلاء اتخذوا رأس السَّنَةِ أو أوَّلها عيدًا متابعةً للنَّصارى ومضاهاةً لهم؛ حيث يتخذون عيدًا عند رأس السَّنة الميلاديَّة 

Kemudian sangat dikhawatirkan bahwa apa yang mereka lakukan dari merayakan akhir tahun hijriyyah atau di awal tahunnya itu termasuk perbuatan latah dengan kebiasaan orang-orang Nashroni dan menyerupai mereka. Dimana mereka menjadikan penghujung tahun masehi sebagai momentum berhari raya." (Majmu' Fatawa wa Rosa'il 16/126)

Tidak kita nafikan bahwa Muharrom termasuk bulan harom yang telah Allah agungkan dalam Al-Qur'an. Allah berfirman:

إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السماوات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم

"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu.” (At-Taubah: 36)

Akan tetapi pengagungan terhadap bulan-bulan harom tersebut direalisasikan dengan cara mengikuti sunnah, beramal sholih serta menjauhi perbuatan dosa dan aniaya. Bukan dengan cara yang bid'ah, mengada-ada yang tidak ada landasannya dari Al-Qur'an was Sunnah. Qotadah berkata:

العمل الصالح أعظم أجرا في الأشهر الحرم ، والظلم فيهن أعظم من الظلم فيما سواهن ، وإن كان الظلم على كل حال عظيما 

"Amalan sholih yang dilakukan di bulan-bulan harom (Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom, Rojab) adalah sebesar-besarnya pahala. Sebaliknya, perbuatan zalim yang dilakukan di bulan-bulan tersebut adalah sebesar-besarnya kezaliman. Padahal kezaliman itu sendiri adalah perkara yang besar." (Tafsir Al-Baghowi Surat At-Taubah ayat 36)

Begitupula dengan amalan-amalan dzikir maupun doa yang secara khusus dilafalkan pada awal bulan Muharrom, semua ini amalan yang tidak ada contohnya dari Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam.

Syaikh Al-'Allamah Bakr Abu Zaid berkata, "Tidak ada sedikitpun riwayat yang tsabit (akurat) mengenai dzikir maupun doa awal tahun pada bulan Muharrom. Sungguh manusia telah mengada-ngada dalam perkara ini, baik lafal-lafal doa (yang dikhususkan), dzikir-dzikir, perayaan, puasa awal tahun, dan menghidupkan malam dari awal bulan Muharrom." (Tash-hihud Du'a hal. 107)
____________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar