Rabu, 01 Maret 2017

Mauqif Ahlissunnah Terhadap Penguasa

Imam Ahmad berkata, "Tidak dihalalkan atas seorangpun memerangi sulthon (penguasa muslim) atau memberontak kepadanya, barangsiapa yang melakukannya maka dia adalah mubtadi’ (ahlul bid’ah), tidak berjalan di atas sunnah dan jalan yang lurus."

Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi menjelaskan:

لأن الخروج عليه  مخالف للنصوص الثابتة عن النبي ﷺ ومخالف لأصل عظيم من أصول أهل السنة  والجماعة حتى لو كان كافرا لا تخرج عليه إلا إذا كان هناك قدرة ، وهناك مصلحة  راجحة ، وليس هناك مفسدة راجحة ، حينئذ إذا أمكن التخلص منه فذاك ، وإلا فلأصل الصبر

"Karena pemberontakan terhadap penguasa muslim menyelisihi dalil-dalil syari'at yang shohih dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan menyelisihi prinsip yang agung dari manhaj Ahlissunnah wal Jama'ah. Andaikata terhadap penguasa kafir sekalipun tetap tidak diperbolehkan memberontak kepadanya kecuali bila adanya kemampuan, maslahat yang kuat dan bukan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Maka jika mungkin terbebas dari kezaliman penguasa kafir tersebut maka itulah (yang diharapkan), namun jika tidak maka hukum asalnya tetap bersabar." (Syarh Ushulissunnah hal. 107)

Secara umum para Ulama menyebutkan di antara syarat-syarat memberontak adalah nampaknya "kufrun bawah" (kekafiran yang nyata) pada penguasa tersebut, mampu menggulingkan kekuasaannya, dapat menggantikannya dengan penguasa yang lebih baik, serta tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar. 

Kendati demikian, para Ulama juga menegaskan bahwa cerita pemberontakan dalam sejarah umumnya hanya menimbulkan mafsadah berkali-kali lipat tidak sesuai harapan. Apalagi jika massa yang digerakkan jauh dari ilmu dan pemahaman yang benar, meninggalkan aqidah yang shohihah, menyelisihi sunnah, terjerumus dalam syirik dan bid'ah.

Kapan Seorang Penguasa Muslim Divonis Kafir?

Asy-Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i berkata:

لا يجوز أن يحكم على الحاكم بأنه كافر إلا إذا استحل ما حرم الله بشروط ثلاث : الشرط الأول: أن يكون عالماً ، الشرط الثاني: أن يكون غير مكره ، الشرط الثالث: أن يرى أن القانون المستورد : مثل حكم الله أو أحسن من حكم الله * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُون 

“Tidak boleh seorang penguasa itu divonis kafir kecuali bila dia telah menghalalkan apa yang diharomkan oleh Allah dengan tiga syarat:

Pertama, penguasa tersebut dalam keadaan berilmu (mengerti hukum syari’at tentang perkara halal dan harom) 

Kedua, penguasa itu dalam keadaan tidak dipaksa. 

Ketiga, penguasa itu berpandangan bahwa hukum undang-undang buatan manusia sama baiknya dengan hukum Allah atau lebih baik dari hukum Allah. (Allah berfirman), "Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il hal. 568)

Adapun pihak yang berkepentingan dalam urusan vonis ini hanyalah para ahli utamanya para Ulama robbani. Bukan kalangan awam yang mengandalkan emosi dan perasaan.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
Join @manhajulhaq

0 comments:

Posting Komentar