Minggu, 12 Maret 2017

Apakah Setiap Perbedaan Pendapat Diterima?

Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan pandangan di antara umat Islam semestinya tidak perlu dibahas dan diangkat ke permukaan, karena sama saja seperti menguliti luka lama yang telah mengering. Jadi tidak usah ribut karena peringatan maulid, masalah tawassul kepada Nabi setelah wafat, masalah bid'ah dan syirik! Semua itu telah menghabiskan energi umat Islam untuk menghadapi musuh yang sebetulnya yaitu orang-orang kafir. Fokuslah menghadapi musuh sedangkan kita ini bersaudara! Begitu celotehan mereka.

Tidak syakk lagi, pendapat di atas adalah pendapat yang batil yang disuarakan oleh kalangan harokiyyin. Mereka adalah orang-orang yang lebih mementingkan persatuan jasad ketimbang persatuan batin. Menurut menganggap perkara tauhid, sunnah, inkarul munkar sebagai perkara furu', sedangkan mendirikan negara sebagai perkara ushul. Mereka menggalang semua kelompok dalam satu wadah dengan mengenyampingkan perbedaan pendapat masing-masing meski bersinggungan dengan masalah prinsip.

Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah menubuwwahkan perpecahan umatnya di belakang hari dan siapakah orang-orang yang akan selamat darinya? 

Mereka lupa bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabatnya sangat kritis dan keras mengingkari penyelisihan dalam masalah manhaj, aqidah dan tauhid? 

Mereka lupa bahwa bid'ah dan syirik adalah sebab utama perpecahan umat, kekalahan dan jauhnya pertolongan Allah? 

Mereka lupa bahwa bid'ah adalah pos paket yang akan menjerumuskan seorang muslim kepada kekufuran? 

Mereka lupa bahwa para Shohabat dan para Ulama setelahnya sangat tegas mengingkari bid'ah Khowarij, Murji'ah, Qodariyyah, Syiah, Mu'tazilah dan kelompok-kelompok menyimpang yang lain?

Mereka lupa bahwa inti kekuatan umat Islam di masa-masa kejayaan adalah karena merealisasikan tauhid dengan benar, menghambakan diri hanya kepada Allah semata, meninggalkan syirik dan bid'ah. Sedangkan sebab utama kekalahan umat lantaran meninggalkan sunnah, mengikuti tradisi, mengukur kebenaran dengan jumlah, mengabaikan amar ma'ruf nahi munkar. Mereka tidak sadar karena sedang mabuk hizbiyyah.

Lalu bagaimana sebetulnya menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi di antara umat Islam? Apakah setiap perbedaan pendapat itu rohmat?

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, "Ikhtilaf (perbedaan pendapat) ada beberapa macam:

القسم الأول : الإختلاف في العقيدة وهذا لا يجوز ؛  لأنَّ العقيدة ليست مجالاً للاجتهاد والاختلاف لأنَّها مبنية على التوقيف ولا مسرح للاجتهاد فيها ، والنبي - صلى الله عليه وسلم - لمَّا ذكر افتراق الأُمة إلى ثلاث وسبعين فرقة قال : ( كُلُّها في النار إلاَّ واحدة ) . قيل : من هم يا رسول الله !؟ قال : ( هُم من كان على ما أنا عليه وأصحابي ) 

Pertama, perbedaan dalam masalah aqidah. Khilaf dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena perkara aqidah tidak membuka ruang ijtihad di dalamnya maupun perbedaan pendapat. Perkara aqidah dibangun di atas dalil dan menutup pintu ijtihad. Hal itu tatkala Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan beliau menegaskan, "Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang selamat. Ditanyakan kepada beliau, "Siapakah mereka (golongan yang selamat itu) wahai Rosulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah orang yang beragama dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shohabatku."

القسم الثاني : الخلاف الفقهي الذي سببه الاجتهاد في استنباط الأحكام الفقهية من أدلتها التفصيلية ، إذا كان هذا الاجتهاد مِمَّن تَوَفَّرت فيه مؤهلات الاجتهاد ، ولكنه قد ظهر الدليل مع أحد المجتهدين ؛ فإنَّه يجب الأخذ بما قام عليه الدليل وترك ما لا دليل عليه 

Kedua, perbedaan pemahaman. Khilaf (perbedaan) dalam hal ini muncul karena adanya ijtihad ketika mengambil kesimpulan hukum fiqh dari dalil-dalilnya secara rinci, selama ijtihadnya itu memenuhi syarat dan berasal dari para ahlinya. Akan tetapi, jika dalilnya telah nampak di hadapan salah seorang mujtahid, maka wajib baginya mengambil yang sesuai dalil dan meninggalkan perkara yang tidak ada landasan dalilnya.

قال الإمام الشافعي - رحمه الله - : ( أجمعت الأُمَّة على أنَّ من استبانت له سُنَّة رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لم يَكُن ليدعها لقولِ أَحد . وذلك لقول الله تعالى : فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ) 

Al-Imam Asy-Syafii - rohimahullah - berkata, "Para Ulama telah bersepakat, bila telah jelas gamblang sunnah Rosulillah shollallahu 'alaihi wasallam maka tidak boleh bagi siapapun meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang. Karena Allah ta'ala berfirman, "Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik lagi akibatnya."

Sebagian Ulama berkata:

وليس كُلُّ خِلاف جاء معتبرًا ... إلاَّ خِلاف له حَظٌّ مِن النظر

"Tidaklah setiap khilaf itu mu'tabar (diakui), kecuali khilaf yang mempunyai sudut pandang (hujjah)."

القسم الثالث : الاجتهاد الفقهي الذي لم يظهر فيه  دليل مع أحد المختلفين ، فهذا لا يُنْكَر على مَن أَخذ بأحد القولين ، ومِن ثم جاءت العبارة المشهورة : لا إنكار في مسائل الاجتهاد وهذا الاختلاف لا يُوجِب عداوة بين المختلفين . لأنَّ كُلاًّ منهم يَحتمل أَنَّهُ على الحقِّ

Ketiga, perbedaan yang bersumber dari ijtihad fiqhi (pemahaman) berhubung dalilnya belum nampak di antara para Ulama yang berselisih pendapat. Maka dalam hal ini tidaklah diingkari jika seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang masyhur terkait hal ini yaitu, "Tidak ada pengingkaran dalam menyikapi masalah ijtihad (yang diperselisihkan)". Khilaf dalam masalah ini tidak melazimkan percekcokan di antara keduabelah pihak yang berbeda pendapat. Karena masing-masingnya ada kemungkinan berada di atas al-haq." (Al-Ijtima' wa Nabdzul Furqoh hal. 48 - 50)

Maka tidak setiap perbedaan pendapat bisa diterima dan boleh disikapi dengan lapang dada. Ada perbedaan yang wajib diinkari seperti perbedaan dalam masalah manhaj dan aqidah atau masalah yang telah gamblang dalilnya. Adapula perbedaan yang dapat ditolerir sebagaimana yang telah dijelaskan rinciannya.

Kendati demikian, menyikapi perbedaan itu harus dengan taqwallah dan keadilan. Bukan didorong oleh emosi, kejahilan, sentimen pribadi, atau kebencian personal. Karena semua itu akan menjerumuskan pelakunya kepada hawa nafsu dan kezaliman.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

1 komentar: