Selasa, 19 Juli 2016

Fiqh Puasa Syawwal

Dari Abu Ayyub Al-Anshori bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:

من صام رمضان ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

"Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka dia seperti berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim 1164)

Hadits ini dalil yang menunjukkan dianjurkannya puasa enam hari pada bulan Syawwal dan ini madzhabnya Asy-Syafii, Ahmad, Dawud Adz-Dzhohiri serta para Ulama yang lain. 

Keutamaannya seperti puasa setahun karena satu kebaikan di sisi Allah pahalanya diganjar dengan sepuluh kali lipat. Orang yang telah menjalankan puasa Romadhon dengan sempurna selama sebulan nilai pahalanya sama dengan 10 bulan, sedangkan puasa enam hari di bulan Syawwal nilai pahalanya sama dengan 60 hari/2 bulan maka keduanya terhitung setahun.

Dari Tsauban bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:

صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

“Puasa sebulan penuh di bulan Romadhon sepadan dengan sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawwal) sepadan dengan dua bulan. Itulah puasa setahun penuh.” (HR. An-Nasa’i "Al-Kubro" 2/163)

Adapun pendapat Imam Malik yang mengkhawatirkan bid'ahnya puasa Syawwal maka itu ijtihad beliau lantaran belum sampainya riwayat tersebut kepada beliau sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafidzh Ibnu Abdul Barr.

Yahya berkata, “Aku mendengar Imam Malik mengatakan tentang puasa enam hari setelah Iedul Fitri, “Aku tidak melihat seorangpun dari ahli fiqh berpuasa enam hari di bulan Syawwal dan belum sampai kepadaku tentang hal itu dari kalangan Salaf dan sesungguhnya para Ulama melarang karena khawatir hal tersebut termasuk bid'ah.” (Al-Muwattho’ hal. 210)

Di sini ada faidah penting bahwa setinggi apapun keilmuan dan kedudukan seorang alim terkadang ada riwayat shohih yang belum diketahuinya atau belum sampai kepadanya dan itu bukanlah aib. 

Maka ijtihad Imam Malik kita kembalikan kepada ucapan beliau yang terkenal:

كل يؤخذ من كلامه ويرد إلا صاحب هذا القبر

“Semua omongan bisa diambil dan bisa ditolak kecuali omongan penghuni kubur ini (jari beliau sambil berisyarat ke kubur Nabi ﷺ).” (Atsar riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jami’ 2/91)

Bolehkah Berpuasa Syawwal Sebelum Qodho (mengganti) Puasa Romadhon?

Hal ini masih terkait hukum puasa sunnah sebelum mengqodho puasa Romadhon. Di sana ada perbedaan pendapat di antara para Ulama.

Para Ulama Malikiyyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat berpendapat wajib qodho Romadhon sebelum puasa sunnah. (Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401S - Shohih Fiqhussunnah 2/140)

Alasannya, qodho puasa hukumnya wajib sedangkan puasa Syawwal hukumnya sunnah (anjuran), hal yang wajib harus didahulukan dari yang sunnah. Syaikh Al-'Allamah Al-Utsaimin sejalan dengan pendapat ini. (Syarh Riyadhussholihin 3/507 dan Asy-Syarhul Mumti’ 6/448)

Dalilnya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawwal maka seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim 1164)

“Barangsiapa yang berpuasa Romadhon" maksudnya telah berpuasa Romadhon secara sempurna. Orang yang masih punya utang Romadhon kemudian dia berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka dia tidak mendapat pahala puasa setahun penuh. Meski utang puasanya hanya sehari saja maka dia belum dianggap sudah puasa Romadhon.

Sedangkan para Ulama Syafiiyyah berpendapat dianjurkan mendahulukan qodho puasa Romadhon sebelum puasa sunnah. (Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 - Shohih Fiqhussunnah 2/140)

Yakni seseorang boleh berpuasa sunnah sebelum mengqodho, akan tetapi  lebih utama mendahulukan yang wajib.

Adapun para Ulama dari kalangan Hanafiyyah dan Imam Ahmad dalam riwayat lain berpendapat qodho tidak wajib didahulukan.  (Al-Bada’i’ 2/104, Mawahibul Jalil 2/417, Al-Majmu’ 6/375, Al-Mughni 4/401 - Shohih Fiqhussunnah 2/140)

Yaitu boleh berpuasa sunnah meski belum qodho Romadhon. Dalilnya antara lain:

1. “Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tinggalkan puasanya itu) pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqoroh: 184)

2. Dari Aisyah Ummul Mukminin, “Aku pernah punya utang puasa Romadhon akan tetapi aku tidak mampu mengqodhonya melainkan di bulan Sya’ban.” (HR. Muslim 1146)

Aisyah menunda qodho sampai bulan Sya’ban sehingga puasa Syawwal dapat dilakukan sebelum qodho karena rentang waktu yang cukup panjang.

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata, “Riwayat Aisyah ini menunjukkan bolehnya menunda qodho Romadhon secara mutlak baik adanya udzur ataupun tidak.

Di antara Ulama ada memberi gambaran masalah seperti Al-'Allamah Asy-Syinqithi, “Apabila adzan Dzhuhur telah berkumandang maka engkau wajib sholat Dzhuhur, akan tetapi engkau boleh mendahulukan sholat sunnah rowatib sebelum sholat Dzhuhur. Itu berarti engkau telah mendahulukan yang sunnah sebelum yang wajib." (Mawsu’ah Al-Fatawa Al-Islamiyah - Khulashotul Kalam Fi Ahkami Ulama’ Al-Baladil Harom hal. 193)

3. Dari Ibnu Umar, bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada beliau tentang qodho puasa Romadhon, “Jika engkau mau maka bisa (berpuasa) berlainan hari, jika engkau mau maka engkau dapat (berpuasa) berturut-turut.” (HR. Ad-Daruquthni)

Pendapat yang Lebih Kuat

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Ulama yang mewajibkan qodho Romadhon sebelum puasa sunnah. Alasanya antara lain sebagai berikut:

Pertama, hikmah dari puasa enam hari di bulan Syawwal seperti berpuasa setahun penuh, sedangkan orang yang berpuasa Syawwal sebelum menunaikan qodho Romadhon ganjarannya belum terhitung setahun.

Kedua, firman Allah dalam surat Al-Baqoroh 184 tersebut berkenaan dengan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan seperti orang yang sakit, dalam perjalanan safar atau udzur yang lain. Jadi tidak melazimkan bolehnya berpuasa sunnah sebelum qodho Romadhon. “Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain.”

Ibnu Hazm menjelaskan, “Apabila belum memiliki kemampuan maka dia boleh mengqodhonya tanpa berturut-turut dan cukup baginya firman Allah ta’ala, “Maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa) pada hari-hari yang lain", dan di sini Allah tidak membatasinya dengan waktu dalam mengqodho puasa." (Al-Muhalla tahqiq Al-'Allamah Ahmad Syakir 3/308)

Ketiga, Aisyah menunda qodho puasa karena adanya  udzur (halangan) untuk menyegerakannya. Di sana ada isyarat bahwa andaikata ‘Aisyah mampu maka beliau tidak akan menundanya sampai bulan Sya'ban. Demikian yang dijelaskan oleh Syaikh Al-'Allamah Al-Albani dalam "Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhissunnah" hal. 422

Keempat, tersembunyinya udzur Aisyah dari Al-Hafidzh Ibnu Hajar. (Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhissunnah hal. 422)

Kelima, riwayat Ad-Daruquthni dari Ibnu Umar sanadnya lemah karena ada rowi yang majhul bernama Sufyan bin Bisyr. (Tamamul Minnah Fit Ta’liq ‘ala Fiqhissunnah hal. 422)

Keenam, gambaran yang disebutkan Al-'Allamah Asy-Syinqithi perlu ditinjau kembali, karena yang menjadi pokok pembahasan adalah utang puasa Romadhon yang harus segera dibayar. Sama halnya dengan orang yang lupa dari sholatnya atau sudah keluar waktunya maka kewajibannya segera ditunaikan setelah ingat.

Puasa Syawwal Berurutan atau Tidak?

Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shon’ani, “Pahala puasa Syawwal akan diperoleh bagi yang berpuasa dengan berlainan hari maupun berurutan, dan orang yang berpuasa sehari setelah ‘Ied atau pada pertengahan bulan Syawwal. Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dalam sunannya dari Ibnul Mubarok, beliau memilih berpuasa enam hari di permulaan bulan Syawwal. Diriwayatkan pula dari Ibnul Mubarok bahwa beliau berkata, “Jika puasa enam hari di bulan Syawwal dilakukan tidak berurutan maka yang demikian juga diperbolehkan.” (Subulussalam hal. 567)

Akan tetapi, yang afdhol (lebih utama) adalah dengan mengerjakannya berturut-turut sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam "Syarh Shohih Muslim" 8/304. Karena hal itu termasuk bersegera dalam kebaikan, sebagaimana keumuman firman Allah:

“Mereka itu orang-orang yang bersegera dalam amalan-amalan kebaikan dan merekalah orang-orang yang lebih dulu memperolehnya.” (Al-Mu’minun: 61)

Adapun memulai puasa Syawwal boleh disegerakan di awal bulan dan boleh ditunda pelaksanaannya selama masih dalam bulan Syawwal. Di antara Ulama ada yang menganjurkan untuk menunda pelaksanaannya karena hari 'Ied adalah momentum berhari raya, hari berkumpul, hari makan dan minum.

Bolehkah Mengqodho Puasa Syawwal di Bulan Lain?

Syaikh Al-'Allamah Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di, “Bahwa yang nampak dari dua pendapat di antara Ulama, apabila telah berlalu bulan Syawwal dan seseorang belum sempat berpuasa (enam hari) maka dia tidak perlu mengqodhonya (di bulan lain), karena puasa Syawwal telah usai waktunya. Rosulullah ﷺ mengaitkan waktu puasa dengan bulan Syawwal, artinya pahala puasa tidak akan diperoleh bila dilakukan di bulan lain. Andaikata bulan Syawwal sama kedudukannya dengan bulan-bulan lain, tentu Rosulullah ﷺ tidak akan mengkhususkan keutamaannya. Kendati demikian, di antara Ulama ada yang berpendapat, “Apabila seseorang berhalangan seperti sakit, haid, nifas atau udzur lain yang membuat dirinya terhalang dari puasa Syawwal maka dia tetap mendapat pahalanya meski berpuasa di bulan selanjutnya, wallahu a’lam.” (Fatawa Syaikh As-Sa’di hal. 230)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar