Jumat, 17 Juni 2016

Kapan Seorang Penguasa Divonis Kafir?

Asy-Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i berkata:

لا يجوز أن يحكم على الحاكم بأنه كافر إلا إذا استحل ما حرم الله بشروط ثلاث : الشرط الأول: أن يكون عالماً, الشرط الثاني: أن يكون غير مكره, الشرط الثالث: أن يرى أن القانون المستورد : مثل حكم الله أو أحسن من حكم الله * أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُون 

“Tidak boleh seorang penguasa itu divonis kafir kecuali bila dia telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dengan tiga syarat.

Pertama, penguasa tersebut dalam keadaan berilmu (mengerti hukum syari’at tentang perkara halal dan harom). Kedua, penguasa itu dalam keadaan tidak dipaksa. Ketiga, penguasa itu berpandangan bahwa hukum undang-undang sama baiknya dengan hukum Allah atau lebih baik dari hukum Allah. (Allah berfirman), "Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?”

وينبغي أن يعرف أن حكام المسلمين أصبحوا لا يهتمون بشئون المسلمين وأصبحوا أذناباً لأمريكا ولروسيا ، نسأل الله أن يردهم إلى الحق رداً جميلاً

Dan ketahuilah bahwa para penguasa Muslimin banyak yang mengabaikan kepentingan umatnya dan telah menjadi pengekor Amerika dan Rusia. Kami berdoa kepada Allah agar mengembalikan mereka kepada al-haq dengan sebaik-baiknya." (Ijabatus Sa’il ‘ala Ahammil Masa’il hal. 568)

Asy-Syaikh Al-'Allamah Ahmad An-Najmi menjelaskan:

 ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون وفي آية أخرى ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون وهذا يحمل على تنوع الناس في عدم الحكم بما أنزل الله – سبحانه وتعالى – فمنهم من يكون مقرا بأن الحكم بما أنزل الله هو الواجب

"Firman Allah, "Dan barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang yang fasiq", dalam ayat lainnya, "Dan barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum yang Allah turunkan maka mereka adalah orang-orang yang zalim." Ini sesuai dengan keadaan masing-masing orang yang meninggalkan hukum Allah subhanahu wa ta'ala. Di antara mereka ada yang tetap mengakui berhukum dengan hukum yang Allah turunkan itu wajib. 

ولكن يحمله إما حب المال أو خوفا من الضغوط عليه أو هوى بالمحكوم عليه أو هوى مع المحكوم له كل ذلك يدفعه أنه يحكم بغير ما أنزل الله فهذا مع اعتقاده لا يكون كافرا وإنما يكون فاسقا فالكفر لا يكون إلا لمن اعتقد أن حكم غير الله عز وجل أحسن من حكم الله فمن اعتقد هذا أو مساويا له من اعتقد هذا فإنه يعتبر قد كفر 

Tetapi karena ketamakannya kepada harta atau karena adanya tekanan-tekanan politik atau memutuskan hukum berdasarkan kecenderungan hawa nafsunya; semua alasan itu mendorong dia untuk berhukum dengan selain hukum Allah. Kendati demikian jika dia tetap meyakini kewajiban menjalankan hukum Allah maka dia tidaklah menjadi kafir akan tetapi fasiq. Artinya kekafiran tidaklah terjadi kecuali bagi siapa saja yang mempunyai i'tiqod (keyakinan) bahwa selain hukum Allah 'azza wa jall itu lebih baik. Orang yang mempunyai keyakinan seperti itu atau meyakini hukum Allah dengan yang hukum lainnya sepadan maka dia telah kafir." (Rekaman "Taujihat fil Aqidah wal Manhaj wad Da'wah")

Bagaimana dengan hukum memberontak kepada penguasa yang kafir?

Para Ulama seperti Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-'Asqolani, Al-Imam An-Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh bin Baz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-'Utsaimin, Syaikh Muqbil dan yang lainnya menegaskan memberontak diperbolehkan jika terpenuhi syarat-syaratnya, yaitu nampak "kufrun bawah" (kekafiran yang nyata) pada penguasa tersebut, mampu menggulingkan kekuasaannya, mampu menggantikannya dengan penguasa yang lebih baik, serta tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang mereka membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka. Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak! selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian." (HR. Muslim 1855)

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian mempunyai alasan yang jelas dari Allah atas kekafirannya.” (HR. Al-Bukhari 6532 dan Muslim 1709)

Asy-Syaikh Al-'Allamah Shalih Al-Fawzan berkata, “Adapun sikap terhadap penguasa yang kafir maka disesuaikan dengan kondisi kaum Muslimin. Jika kaum Muslimin mempunyai kekuatan dan kemampuan menyingkirkan penguasa kafir tersebut dari kekuasaannya lalu menggantikannya dengan penguasa Muslim, maka hal itu wajib atas mereka dan ini termasuk jihad fi sabilillah. Namun jika mereka tidak mampu menyingkirkannya maka tidak diperbolehkan melawannya, sebab hal itu akan mengakibatkan mafsadah dan kebinasaan bagi kaum Muslimin. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hidup di Makkah selama tigabelas tahun pasca kenabian dalam kondisi kepemimpinan dikuasai oleh orang-orang kafir, sedang bersama beliau ada para Shahabat yang telah masuk Islam. Akan tetapi beliau menahan diri tidak melawan mereka, bahkan para Shahabat dilarang untuk melawan mereka.” (Fiqh As-Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 287-288)

Kesimpulannya, memberontak kepada seorang penguasa  baru diperbolehkan selama terpenuhi syarat-syaratnya di samping merujuk kepada pertimbangan para ahli dari kalangan Ulama. Sebab pemberontakan pada asalnya dilarang karena umumnya mengakibatkan mafsadah dan kerusakan. Inilah manhaj Salaf Ahlussunnah wal Jama'ah yang para Ulama berjalan di atasnya.

Hal itu berbanding terbalik dengan manhaj ahlul bid'ah yang diikuti oleh kelompok-kelompok harokah masa kini. Pemberontakan menurut mereka sebagai kewajiban agama tanpa melihat syarat-syaratnya. Sekalipun pemberontakan terhadap penguasa zalim yang masih berstatus Muslim!

Pandangan bid'ah kelompok harokah hizbiyyah itu sesungguhnya dibangun di atas kaidah batil "al-hadmu wal bina'" yaitu hancurkan dulu negaranya lalu bangun kembali di atas puing-puing kehancuran. Kaidah ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan konsep revolusi yang dianut oleh kalangan komunis. Tetapi karena dibungkus dengan stempel jihad dan amar ma'ruf nahi munkar; banyak anak muda yang masih labil tersulut emosinya dan menjadi korban propaganda mereka.

Fikri Abul Hasan

1 komentar:

  1. Klu pemerintah Indonesia bagaimana Ust? Kafir gak?

    BalasHapus