Sabtu, 11 Juni 2016

Jilbab Bukan Produk Budaya

Kata jilbab bila ditinjau dari aspek bahasa mengandung beberapa pengertian antara lain, "Qomish yaitu pakaian lebar dan panjang sejenis jubah, atau pakaian yang lebih lapang dari khimar (kerudung penutup kepala) selain rida’ (selendang), atau pakaian lebar selain milhafah (selimut) yang dikenakan oleh seorang wanita, atau milhafah." (Lisanul ‘Arab - Ibnu Mandzhur Al-Mishri 2/162)

Sedangkan menurut istilah syariat pengertian jilbab diterangkan oleh para Ulama seperti Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di, "Jilbab adalah kain lebar yang dikenakan di atas pakaian (milhafah, khimar, rida’) yang berfungsi menutupi wajah dan dada mereka. (Taisirul Karimirrahman fi Tafsir Kalamil Mannan - Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 59)

Allah berfirman:

ياأيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدنى أن يعرفن فلا يؤذين وكان الله غفورا رحيما

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri kaum Mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (Al-Ahzab: 59)

Ayat ini dalil shorih (tegas) yang menunjukkan wajibnya mengulurkan jilbab atas wanita dan para Ulama telah berijma' (sepakat) dalam masalah ini. Perbedaan pendapat yang mu'tabar hanyalah dalam hal menutup wajah dan kedua telapak tangan. Maka kewajiban memakai jilbab dalam ketentuan syariat sama seperti kewajiban-kewajiban lainnya. Sampai-sampai Aisyah menceritakan bagaimana sikap sebagian isteri para shohabat setelah turunnya ayat jilbab, mereka sudi merobek kain gorden rumahnya untuk mereka gunakan sebagai jilbab. 

Kendati demikian, masih saja ada segelintir orang yang minder dengan agamanya menganggap  jilbab sebagai produk budaya sehingga tidak perlu memerintahkan para wanita untuk berjilbab, begitu celotehan kufur mereka.

Andaisaja mereka mau mempelajari tarikh tasyri’ (sejarah penetapan hukum syari’at) maka mereka akan mengetahui bahwa budaya wanita Arab jahiliyyah sebelum diutusnya Rosulullah ﷺ ialah pakaiannya terbuka. Bahkan mereka rela telanjang bulat saat thowaf mengelilingi Ka’bah. Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii berkata:

وكان أهل الجاهلية يطوفون عراة ويرمون ثيابهم ويتركونها ملقاة على الأرض ولايأخذونها أبدا ويتركونها تداس بالأرجل حتى تبلى ويسمى اللقاء حتى جاء الاسلام فأمر الله تعالى بستر العورة

“Dahulu masyarakat jahiliyyah melakukan thowaf dengan bertelanjang bulat. Mereka melemparkan pakaiannya serta meninggalkannya tergeletak di atas tanah. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya, membiarkannya terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang hingga pakaian tersebut usang. Demikianlah tradisi jahiliyyah yang dinamakan "Al-Liqo’" yang terus berlangsung hingga datanglah Islam maka Allah memerintahkan mereka untuk menutup aurotnya.” (Syarh Shohih Muslim 18/369)

Maka klaim jilbab sebagai produk budaya Arab adalah kesimpulan mengada-ada yang disuarakan oleh kelompok liberal demi menjaga perasaan Barat. Faktanya wanita Arab jahiliyyah dahulu tidak mengenal busana jilbab dan menutup aurot. Baru setelah Rosulullah ﷺ diutus perintah jilbab berlaku atas isteri-isteri beliau, anak perempuan beliau serta wanita-wanita kaum Mukminin. 

Ketahuilah bahwa perintah jilbab merupakan wahyu dari Allah yang paling mengerti tentang kemaslahatan hamba-Nya. Kewajiban mengulurkan jilbab sama seperti menjalankan kewajiban sholat dan puasa yang tidak terbuka padanya ruang ijtihad maupun perbedaan pendapat. Kewajiban jilbab tetap berlaku dimanapun dan kapanpun sebagai wujud ketaatan dan menjadi salah satu pilar akhlaq yang mulia.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar