Rabu, 25 Mei 2016

Proses Ta'aruf Syar'i Hingga Jenjang Pernikahan

Bismillah, Ustadz bagaimanakah proses perkenalan sampai menikah yang syar’i?

Jawab: Proses perkenalan atau ta’aruf yang syar’i sebelum masuk jenjang pernikahan adalah sebagai berikut:

1. Menyelidiki calon pasangannya dengan cara bertanya kepada kawan-kawannya (jika calon isteri maka cari informasi dari temannya yang akhwat, sedangkan calon suami maka cari informasi dari ikhwan) atau bertanya dengan orang-orang yang dikenal amanah atau orang yang berilmu. Semua itu dalam rangka mengetahui kesholihan yang bersangkutan.

“Wanita dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah olehmu agamanya. Bila tidak, engkau akan celaka.” (HR. Al-Bukhori 5090 dan Muslim 3620)

2. Bila sudah mantap, maka dianjurkan melakukan nadzhor (melihat) wajah dan kedua telapak tangan wanita secara langsung dan seperlunya dengan didampingi mahrom dari wanita tersebut. Atau melihat dari kejauhan wanita yang hendak dinikahinya itu seperlunya tanpa diketahui olehnya meski yang dilihat adalah bagian rambut maupun betisnya.

“Lihatlah wanita (yang ingin kau nikahi) itu, karena hal itu akan lebih melanggengkan hubungan di antara kalian.” (HR. An-Nasa’i 3235 dan At-Tirmidzi 1087 dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani dalam “Ash-Shohihah 96)

3. Bila sudah cocok dan meyakinkan, maka sang pria mengkhitbah (meminang atau melamar) wanita tersebut dengan mendatangi keluarga wanita yang berstatus sebagai wali (ayah kandungnya, jika tidak ada maka kakek dari ayahnya, kemudian saudara kandung laki-lakinya, kemudian paman dari ayahnya) untuk menyampaikan tujuannya yang mulia.

“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali.” (HR. Abu Dawud 2085, At-Tirmidzi 1101, Ibnu Majah 1879)

4. Jika khitbah telah resmi dengan mendapat izin dari sang wali, maka tidak perlu mengikatnya dengan tukar cincin seperti kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dari kaum itu.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dinilai "Hasan Shohih" oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shohih Abi Dawud" 3401)

5. Selama masa khitbah si wanita tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain kecuali jika khitbahnya telah digugurkan.

“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhori 5144)

6. Selama masa khitbah kedua calon pasangan tidak dibolehkan aktif berkomunikasi selain keperluan yang dibutuhkan. Hal itu diupayakan demi menutup pintu fitnah dan tipu daya syaithon.

7. Bila sudah tiba masanya, maka akad nikah diselenggarakan yang didahului dengan khutbah. Ijab qobul dengan memberi mahar yang disaksikan minimal dua orang saksi yang adil. Kedua calon tidak boleh duduk berdampingan melainkan harus terpisah. Cukup wali dan calon laki-laki yang saling berhadapan dalam serah terima kepemimpinan.

8. Adakan walimah (pesta pernikahan) dengan mengundang khalayak yang tujuannya untuk mengumumkan pernikahan dengan ditabuhnya rebana tanpa berlebih-lebihan seperti menggelar musik dangdut dan semisalnya. 

9. Tidak diperkenankan duduk berdampingan di pelaminan dengan disaksikan semua orang. Perbuatan itu meniru kebiasaan orang-orang kafir yang rasa malunya kurang. Jadi cukup duduk di pelaminan masing-masing. Tamu wanita mendatangi pengantin wanita begitu pula sebaliknya.

10. Mengadakan walimah diperbolehkan kapan saja, baik dilangsungkan setelah akad atau beberapa hari kemudian setelah “dukhul” (jima’). Lebih diutamakan mengundang karib kerabat yang faqir dan orang-orang miskin supaya lebih besar barokahnya. Wabillahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

2 komentar: