Selasa, 10 Mei 2016

Benarkah Kaidah “Lau Kana Khoiron Lasabaquna Ilaih” Mengadopsi dari Pemikiran Yahudi?

Benarkah kaidah “Lau Kana Khoiron Lasabaquna Ilaih” mengadopsi dari pemikiran Yahudi seperti yang disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Ahqof ayat 11? Mohon penjelasannya Ustadz.

Jawab: Tidak benar, "Lau kaana khoiron lasabaquuna ilaih" termasuk kaidah Ahlussunnah. Hal ini telah disebutkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafii:

وأما أهل السنة والجماعة فيقولون قي كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة رضي الله عنهم هو بدعة لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها

“Adapun Ahlussunnah wal Jamaah mereka berkata, bahwa setiap ucapan dan perbuatan yang tidak tsabit dari para shohabat rodhiyallahu ‘anhum adalah bid’ah. “Lau kaana khoiron lasabaquuna ilaih” (andaikata perkara itu baik tentu para shohabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya). Karena mereka tidak meninggalkan satu jenispun dari amalan-amalan kebaikan kecuali akan bersegera mengamalkannya.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/190)

Dalil kaidah ini antara lain firman Allah ta'ala:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan para pendahulu yang pertama kali (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin (para shohabat yang hijroh ke Madinah) dan Anshor (para shohabat yang menjadi penduduk asli kota Madinah) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah. Dan Allah telah menjanjikan bagi mereka itu taman-taman surga yang mengalir di bawah taman-taman itu sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)

Rosulullah ﷺ juga telah mengingatkan akan terjadinya percekcokan pemahaman di antara umatnya:

“Barangsiapa yang masih hidup sepeninggalku dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku (cara beragamaku) dan sunnah para Khulafa’urrosyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi-gigi gerahammu. Dan hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan dalam beragama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 beliau berkata “Hadits Hasan Shohih”, dishohihkan Syaikh Nashir "Shohihul Jami’" 2546)

Tidak ada orang yang paling mencintai Nabi ﷺ dan paling meneladani beliau selain para shohabatnya. 

Tidaklah para shohabat meninggalkan suatu perkara dalam urusan agama ini melainkan karena tidak ada petunjuknya dari Nabi ﷺ. Maka tidak ada jalan untuk memahami Al-Qur'an was Sunnah dengan benar kecuali dengan mengikuti petunjuknya para shohabat.

Adapun surat Al-Ahqof ayat 11 itu sebetulnya tentang pengingkaran orang-orang kafir terhadap Al-Qur’an:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ

“Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, (Lau kana khoiron maa sabaquuna ilaih) "Sekiranya (Al-Qur'an) itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak akan mendahului kami (beriman) kepadanya.”

Ayat di atas disebutkan dalam redaksi nafi/peniadaan “maa sabaquuna” (tidak akan mendahului kami). Sedangkan kaidah Ahlussunnah dalam redaksi penetapan “lasabaquuna” (tentu mereka akan mendahului kami). Keduanya jelas berbeda.

Lalu bagaimana dengan ucapan Al-Imam Asy-Syafii yang sering dikutip oleh sebagian orang untuk menggugurkan kaidah Ahlussunnah tersebut? Al-Imam Asy-Syafii berkata:

كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف

“Setiap perkara yang memiliki dasar dari syariat maka itu bukanlah bid’ah sekalipun belum diamalkan oleh para salaf.”

Jawaban atas syubhat ini sebagai berikut:

(1). Penisbatan ucapan tersebut kepada Al-Imam Asy-Syafii masih disangsikan keabsahannya, yang menukil Abdullah Al-Ghumari dalam “Itqonusshun’ah” beliau tidak menyebutkan darimana perkataan tersebut berasal.

(2). Jika kita tilik kembali ucapan di atas, “Setiap perkara yang memiliki dasar dari syariat (dalil) maka itu bukanlah bid’ah sekalipun belum diamalkan oleh salaf”. Maka tidak mungkin dikatakan bid'ah bila ada dalilnya. Disebutkan pula kelanjutan redaksinya yang ini lebih memperjelas konteksnya:

لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لِما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به

“Karena sikap meninggalkannya mereka (para salaf) dari amalan tersebut terkadang karena adanya udzur untuk mengerjakannya ketika itu, atau karena mereka memilih amalan yang lebih utama darinya, atau boleh jadi karena ilmunya belum sampai kepada mereka.”

(3). Seandainya shohih penisbatan tersebut maka itu menunjukkan sikap Al-Imam Asy-Syafii yang tunduk kepada dalil, “Jika hadits itu shohih maka itulah madzhabku”. Jadi bukan karena ada dan tiadanya amalan dari salaf yang boleh jadi salaf yang beliau maksud adalah para ulama dari kalangan tabiin atau tabiit tabiin selain shohabat.

(4). Al-Imam Asy-Syafii sangat memuliakan kedudukan para Shohabat:

هم فوقنا -الصحابة- في كل علم وفقه ودين وهدى وفي كل سبيل ينال به علم وهدى ورأيهم لنا خير من رأينا لأنفسنا

“Mereka -para shohabat- kedudukannya jauh berada di atas kita dalam semua ilmu, pemahaman, agama, petunjuk dan dalam setiap jalan yang menjadi sebab diraihnya ilmu maupun petunjuk. Pemahaman mereka jelas lebih baik dari pemahaman kita.” (I’lamul Muwaqqi’in 1/80)

(5). Ucapan ulama setinggi apapun ilmunya tidak sejajar dengan dalil yang menjadi acuan dalam beragama. Dalil hanyalah Al-Qur’an, As-Sunnah serta ijma' (kesepakatan para shohabat) meski untuk memahami dalil kita merujuk kepada bimbingan ulama juga. Setiap ada perkataan yang menyelisihi dalil dari ijtihad seorang ulama, maka akan ada ulama lain yang meluruskannya, wa billahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar