Jumat, 15 April 2016

Pemeliharaan Allah terhadap Hadits Nabawi & Para Ahlinya

Allah telah menganugerahkan kepada umat ini para pendahulu yang jujur yang senantiasa menjaga Al-Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shollallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang amanah dan memegang janji. Di antara mereka ada mencurahkan perhatiannya kepada Al-Qur’an dan ilmunya, yaitu para mufassirin (yakni ahli tafsir). Sebagian yang lain ada yang mencurahkan perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmunya, yaitu para muhadditsin (yakni ahli hadits)

Para Shohabat Nabi maupun generasi setelah mereka dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it tabi’in, sangat besar perhatiannya dalam menjaga hadits-hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan periwayatannya dari generasi ke generasi karena memiliki pengaruh yang besar terhadap agama ini. Mereka senantiasa mengajak manusia agar mengikuti cara hidup dan perilaku Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Setiap kali mereka mengetahui apa yang dilakukan oleh beliau, maka mereka bersemangat untuk segera mengikutinya.

 لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة

“Dan sungguh telah ada pada diri Rosulullah teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)

Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang dari mengerjakan apa-apa yang beliau larang.

وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا 

“Dan apa yang datang kepadamu dari Rosul itu maka terimalah, dan apa yang dilarang atasmu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Keteladanan mereka kepada Rosulullah sangat luar biasa sehingga tidak pernah mempersoalkan sebab perbuatan beliau. Al-Bukhori meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar ia berkata, “Bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah memakai cincin dari emas, lantas orang-orang ikut memakainya. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda, “Aku tidak akan lagi memakainya selama-lamanya.” Maka dengan seketika mereka ikut menanggalkan cincin emas yang dipakainya.”

Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan para Shohabat senantiasa bergegas meneladani semua perbuatan Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam. Selama beliau menetapkannya mereka ikuti, jika beliau melarangnya, mereka tinggalkan.” (Fat-hul Bari 1/321)

Menghafal dan Menulis Hadits

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk mendengar, menghafal, dan menyampaikan hadits-hadits yang beliau sabdakan.

Dari Zaid bin Tsabit ia mengatakan, “Aku telah mendengar Rosulullah bersabda, “Semoga Allah memberi cahaya pada wajah orang yang mendengar hadits kami lalu menghafalnya dan disampaikannya. Betapa banyak orang yang membawa ilmu ini, namun ternyata dia sampaikan kepada orang yang lebih paham darinya. Dan betapa banyak orang yang membawa ilmu ini namun dia tidak memahaminya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, beliau berkata “Hadits ini Hasan")

Maka periwayatan hadits dari generasi ke generasi adalah amalan agung dan menjadi suatu kemuliaan bagi para Shohabat Nabi dan para pendahulu kita yang sholih. Hal itu demi menjaga warisan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.

“Sesungguhnya Ilmu ini akan dibawa oleh para ulama yang adil dari tiap-tiap generasi. Mereka akan membantah penafsiran dari kalangan orang-orang yang ekstrim (khowarij), menolak kedustaan para pelaku kebatilan (ahli ilmu kalam dan filsafat), dan ta’wil orang-orang yang jahil (tarekat Shufiyyah).” (Hadits Hasan diriwayatkan Al-Baihaqi dalam "As-Sunanul Kubra", Al-Ajurri dalam "Asy-Syari’ah" hadits ke 1 & 2, Ibnu ‘Adi dalam "Al-Kamil" 1/153, Ibnu Hibban dalam "Ats-Tsiqat" 4/10, Ibnu Abi Hatim dalam "Al-Jarh wat Ta’dil" 2/17 dan yang lain)

Mari kita lihat bagaimana perjuangan para Salafussholih dalam menjaga periwayatan hadits:

1. Dari Jabir rodhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah pergi ke negeri Syam untuk meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin ‘Unais rodhiyallahu 'anhu. (Riwayat Ahmad dan Abu Ya’la dalam Musnad keduanya)

2. Abu Ayyub rodhiyallahu ‘anhu bertolak dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir. (Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam "Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih")

3. Dari kalangan tabi’in, Sa’id bin Al-Musayyib ia berkata, “Demi mendapatkan sebuah hadits, aku rela menempuh perjalanan beberapa hari siang dan malam.” (Riwayat Ar-Romahurmuzi dalam "Al-Muhadditsul Fashil bainar Rowi wal Wa’i" dan Ibnu ‘Abdil Barr)

4. ‘Amir As-Sya’bi, berangkat ke Makkah hanya untuk mendapatkan tiga buah hadits yang pernah disampaikan kepadanya, dengan harapan dapat bertemu salah seorang Shohabat Nabi untuk memastikan kembali tentang hadits-hadits tersebut. As-Sya’bi juga pernah menyampaikan sebuah riwayat kepada seseorang, lantas beliau berkata, “Aku berikan hadits ini kepada engkau cuma-cuma yang pernah kudapatkan dari perjalanan jauh ke Madinah.” (Riwayat Al-Bukhori secara mu’allaq)

5. Al-Imam Baqi bin Makhlad, beliau menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki dari Andalusia (Spanyol) sampai ke Baghdad untuk meriwayatkan ilmu dan hadits dari Imam Ahmad. (Siyar A’lamin Nubala Al-Imam Adz-Dzhahabi 13/285)

Masih banyak lagi cerita suka duka para Ulama dalam menuntut ilmu hadits. Mereka rela berjalan kaki berjuta-juta kilometer demi mendapatkan hadits Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Seperti itulah perhatian para Salafussholih terhadap As-Sunnah. Inilah yang dimaksud sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له طريقا إلی الجنة

"Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)

Al-Mula 'Ali Qori menjelaskan, "Kata "menempuh" maksudnya adalah melangkah atau berjalan. Sedangkan "suatu jalan" maknanya jarak yang dekat maupun yang jauh untuk menuntut ilmu. Kata "ilmu" dalam hadits ini disebut dalam konteks nakiroh (umum) yakni mencakup semua jenis ilmu-ilmu agama baik sedikit maupun banyak selama niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, meraih manfaat dan memberi manfaat kepada manusia. Hadits ini juga menganjurkan rihlah (mengadakan perjalanan) untuk menuntut ilmu." (Mirqotul Mafatih)

(Faidah dan nukilan merujuk kepada kitab “Mabahits fi ‘Ulumil Hadits” karya Syaikh Manna’ bin Kholil Al-Qotthon)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar