Mungkin di antara kita sering mendengar ungkapan:
"Dia punya sembilan kebaikan dan kesalahannya cuma satu!"
"Dia punya sembilan kebaikan dan kesalahannya cuma satu!"
Kalimat ini tidak sepenuhnya benar karena kesalahan orang bertingkat-tingkat. Ada yang bersinggungan dengan masalah prinsip, ada yang
lebih ringan.
Apabila menyangkut prinsip maka konsekuensinya berat meski hanya dalam satu perkara yang dilanggar. Contohnya seperti syirik akbar atau kufur akbar yang dapat membatalkan keislaman seseorang dan menggugurkan semua kebaikannya di sisi Allah.
Apabila menyangkut prinsip maka konsekuensinya berat meski hanya dalam satu perkara yang dilanggar. Contohnya seperti syirik akbar atau kufur akbar yang dapat membatalkan keislaman seseorang dan menggugurkan semua kebaikannya di sisi Allah.
Begitupula menilai seseorang
apakah dia masih berada dalam lingkaran Ahlussunnah ataukah tidak? Hal ini juga dilihat sejauh mana kualitas
pelanggarannya dalam perkara manhaj dan aqidah.
Kita semua sepakat mengeluarkan seorang Salafy dari kesalafiyyahannya bukanlah
perkara yang ringan sebagaimana yang dingatkan oleh Al-Imam Al-Khollal:
"Mengeluarkan seseorang dari sunnah adalah perkara yang berat." (As-Sunnah 2/373)
Akan tetapi, bermudah-mudahan mengklaim orang sebagai Salafy juga
bukan perkara yang ringan. Karena Salafiyyah adalah penisbatan yang mulia, penisbatan kepada generasi terbaik umat ini yaitu para shohabat Nabi, tabi'in dan tabi'it tabi'in serta penisbatan kepada Al-Qur'an was
Sunnah dan ijma' Ulama.
Al-Imam Sufyan bin 'Uyainah berkata, "As-Sunnah pada prinsipnya ada sepuluh barangsiapa yang menyempurnakan seluruhnya maka dia telah menyempurnakan sunnah, dan barangsiapa yang meninggalkan satu perkara dari sunnah tersebut maka dia telah meninggalkan sunnah. (Yaitu) penetapan adanya taqdir Allah, mendahulukan Abu Bakr dan 'Umar, menetapkan Al-Haudh (telaga Nabi), Syafaat, Mizan (timbangan amal), Shiroth (jembatan), iman adalah perkataan dan perbuatan, Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah bukan makhluk), siksa kubur, bangkit di hari kiamat, dan tidak menggugurkan persaksian seorang Muslim." (Syarh Ushul I'tiqod Ahlissunnah (2/174)
Al-Imam Sufyan bin 'Uyainah berkata, "As-Sunnah pada prinsipnya ada sepuluh barangsiapa yang menyempurnakan seluruhnya maka dia telah menyempurnakan sunnah, dan barangsiapa yang meninggalkan satu perkara dari sunnah tersebut maka dia telah meninggalkan sunnah. (Yaitu) penetapan adanya taqdir Allah, mendahulukan Abu Bakr dan 'Umar, menetapkan Al-Haudh (telaga Nabi), Syafaat, Mizan (timbangan amal), Shiroth (jembatan), iman adalah perkataan dan perbuatan, Al-Qur'an adalah kalamullah (firman Allah bukan makhluk), siksa kubur, bangkit di hari kiamat, dan tidak menggugurkan persaksian seorang Muslim." (Syarh Ushul I'tiqod Ahlissunnah (2/174)
Al-Imam Ibnu
Qutaibah, "Para Ulama Ahli hadits seluruhnya sepakat bahwa apa yang
Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya maka
tidak akan terjadi, Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan,
Al-Qur'an adalah kalamullah bukan makhluk, Allah akan dilihat pada hari
kiamat, mendahulukan Abu Bakr dan 'Umar, beriman dengan siksa kubur,
mereka tidak berselisih pendapat tentang prinsip-prinsip ini (karena
dalilnya jelas, -pen). Maka barangsiapa yang meninggalkan mereka dalam
satu masalah saja dari prinsip tersebut maka para Ulama akan
memeranginya (dengan hujjah), memusuhinya, dan memvonisnya sebagai ahlul
bid'ah dan meninggalkannya." (Ta'wil Mukhtalafil Hadits hal. 64)
Al-Imam Ahmad berkata, "Ushulussunnah (yakni pokok manhaj Ahlussunnah
wal Jama'ah) di sisi kami adalah berpegang teguh dengan perkara yang
telah disepakati oleh para shohabat Rosulillah, meneladani mereka, dan
meninggalkan berbagai macammacam kebid." (Ushulussunnah Al-Imam Ahmad)
Adapun di jaman ini para Ulama menyampaikan, siapa saja yang terjerumus dalam bid'ah Syiah, Khowarij, Murjiah, Mu'tazilah, Shufiyyah, Asy'ariyyah, Jama'ah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, harokah hizbiyyah atau menganggap gerakan-gerakan tersebut tidak menyimpang dari Al-Qur'an was Sunnah, tidak menyimpang dari manhaj Nabi dan para shohabat maka dia bukan Ahlussunnah! Meski lisannya mengaku ikut Salafussholih. Ini kaidah yang berlaku secara umum.
Sedangkan penilaian secara
mu'ayyan (individu) maka permasalahannya perlu dirinci, sebab tidak setiap orang yang terjatuh dalam bid'ah
langsung divonis sebagai mubtadi' (ahlul bid'ah). Akan tetapi dilihat motivasinya, teman-teman dekatnya, apakah bid'ah yang gamblang
ataukah yang samar; semuanya harus didasarkan bukti, hujjah dan bersumber dari orang-orang yang terpercaya. Bukan "qila wa qola" (desas-desus) atau hanya modal ikut-ikutan sebagaimana yang dijelaskan oleh para Ulama.
Dengan demikiam Salafiyyah berada di poros tengah antara sikap ifroth (melampaui batas) maupun tafrith (bermudah-mudahan). Ifroth Haddadiyyah yang melampaui batas dalam mengeluarkan orang dari sunnah, dan tafrith Sururiyyah yang bermudah-mudahan mengklaim orang sebagai Ahlussunnah.
Haddadiyyah sebagai bentuk lain dari pemahaman Khowarij, sedangkan Sururiyyah bentuk lain dari pemahaman Ikhwanul Muslimin. Kedua bid'ah inilah yang terus membayang-bayangi dakwah Salafiyyah hingga hari ini.
Hanya
orang-orang yang dianugerahi tawfiq oleh Allah yang mampu membedakan al-haq dari al-batil sehingga Allah
selamatkan mereka kesesatan.
___________
___________
Fikri Abul Hasan
0 comments:
Posting Komentar