Selasa, 01 Desember 2015

Salafy Sibuk dengan Ilmu & Waspada dari Makar Hizbiyyah (+ Tanya Jawab Seputar Manhaj)

Syaikh Al-'Allamah Zaid Al-Madkhali ditanya, "Apa nasehat Anda wahai Syaikh bagi seorang pemula (dalam thalabul 'ilmi) menyibukkan dirinya dengan berbagai bantahan dan ucapan para Ulama sedangkan dia belum berilmu tentang fiqh bersuci dan hal yang lain?


نصيحتي له أن يتفقَّه في الدين، في عقيدته وفي الشعائر التعبُّدية، وفي سلوكه وفي منهجه الذي يسير عليه، ومن ذلك كتب الردود التي رد بها السلف الصالح وأتباعهم على أهل الأهواء والبدع وما أكثرها في كل زمان ومكان.

Beliau menjawab, "Nasehatku, hendaklah seseorang mempelajari dan memahami agama ini secara keseluruhan baik dalam perkara aqidah, syari'at ibadah, akhlaq maupun perkara manhaj yang seseorang berjalan di atasnya. Termasuk pula kitab-kitab bantahan yang berisi bantahan Salafusshalih atas ahlul ahwa dan ahlul bid’ah. Kitab-kitab tersebut banyak kita dapati di setiap zaman dan tempat.


فلا يجوز لأحد أن يتذرَّع بقلة الفقه في الطهارة أو الصلاة يتذرع بذلك ليُحرِم الناس من سماع كتب الردود وكتابتها والاستفادة منها وقراءتها، وإنما الدين كامل فكما يجب أن نتفقه في العقيدة وفي الشعائر التعبدية نتفقَّه كذلك في المنهج العملي وفي السُّنة لنعمل بها ونتعرف على ضدها لنجتنبه وهي البدعة

Maka tidak boleh bagi siapapun menjadikan kurangnya pengetahuan seseorang dalam masalah fiqh bersuci atau shalat sebagai alasan untuk melarang manusia dari mendengar bantahan-bantahan para Ulama terhadap ahlul batil dan membaca tulisan-tulisannya serta mengambil faidah darinya, sesungguhnya agama ini telah sempurna. Maka kita wajib mempelajari aqidah dan syariat ibadah, sebagaimana kewajiban mempelajari manhaj yang bersifat amaliyyah serta memahami sunnah agar dapat mengamalkannya dan mengetahui lawannya yaitu bid'ah sehingga kita dapat menjauhinya.


فهذا هو الذي ينبغي أن يكون، فلا يجوز لأحد أن يقول للناس اتركوا هذه الردود واتركوا كذا وكذا وعليكم بكذا، هذا بدون علم يقول، لأنه إن لم يعرف الشر وقع فيه، والردود تبيِّن طريق الخير من طرق الشر، فيسمع الشريط ويقرأ الكتاب ويسمع من العالم في جميع مراتب الدين: عقيدة وشريعة، سُنَّة ومنهج

Manhaj seperti inilah yang semestinya dijalankan. Tidak boleh bagi siapapun berkata kepada seseorang, "Tinggalkan oleh kalian bantahan-bantahan ini! tinggalkan ini dan itu! Mestinya kalian begini dan begitu!” Ini adalah perkataan tanpa ilmu. Sebab jika seorang itu tidak mengenali kejelekan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya. Melalui bantahan-bantahan itu akan tersingkap jalan kebaikan dari jalan-jalan kejelekan. Maka hendaklah dia menyimak rekaman berfaidah, membaca kitab, dan mendengar dari seorang 'alim tentang seluruh tingkatan agama baik dalam perkara aqidah, syari'at, sunnah maupun manhaj.


وما عُرف لنا أصحاب البدع من قديم الزمان من عهد الصحابة إلى يومنا هذا إلا بواسطة كتب الردود عليهم. فلو لم توجد كتب الردود في الأزمنة والأمكنة ما عَرَفَ الناس أهل البدع ولا استطاعوا أن يُحذِّروا من مبتدع

Tidaklah diketahui kebatilan ahlul bid’ah sedari dulu di masa Shahabat hingga hari ini kecuali dari kitab-kitab bantahan para Ulama. Seandainya saja kitab-kitab bantahan tersebut tidak didapati di berbagai tempat dan waktu maoa manusia tidak akan mengetahui kebatilan ahlul bid’ah dan tidak akan mampu mentahdzir (memperingatkan umat) dari bahayanya.


وعلى أهل الردود عليهم عهد الله وميثاقه أن لا يقولوا إلا الحق، ولا يتهموا مَنْ ليس لهم عليه بينة ومعرفة من كتابته أو مطوياته أو شريطه أو كتابه المؤلَّف.

Kendati demikian, wajib bagi para Ulama yang membantah kebatilan ahlul bid'ah agar memenuhi janjinya kepada Allah untuk tidak berkata kecuali kebenaran, serta tidak menuduh seorangpun tanpa bukti baik melalui tulisan-tulisan mereka, catatan-catatan, rekaman, maupun kitabnya.


هذي طريقة الردود، وبدون ذلك لا يجوز لأحد أن يرد على سبيل الظن والاتهام بدون حقيقة.

Inilah manhaj dalam membantah. Selain itu tidak boleh bagi siapapun melontarkan bantahan hanya berdasarkan dugaannya semata atau tuduhan tanpa bukti." (Sahab As-Salafiyyah)

Lantas bagaimana dengan kebaikan-kebaikan ahlul bid'ah dan jasa mereka terhadap kaum Muslimin?

Tidak syakk lagi setiap orang memiliki kebaikan, bahkan orang kafir sekalipun ada kebaikannya. Akan tetapi kebaikan-kebaikan itu tidaklah menghalangi kaum Muslimin untuk diperingatkan dari penyimpanganya dan kebid'ahannya. Semua ini dilakukan dalam rangka nahi munkar dan ini sikap rahmah Ahlussunnah terhadap yang bersangkutan agar dia tidak mendapat dosa jariyah dari para pengikutnya dalam kejelekan.

Berikut kami nukilkan praktek Salafusshalih dalam memperingatkan manusia dari kebatilan, ahlul bid'ah maupun para pendusta. Nukilan ini bersumber dari kitab "Al-Makhraj minal Fitnah" karya Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i.

Sa'id bin Jubair berkata kepada Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, "Nauf Al-Bikali menyangka bahwa Musa yang menemani Khadhir bukanlah Musa dari kalangan Bani Isra'il." Maka Ibnu 'Abbas berkata, "Sungguh telah berdusta "musuh Allah"." (Riwayat Al-Bukhari)

Al-Imam Abu Hatim Ar-Razi berkata tentang Ibrahim bin Al-Hakam bin Dzhahir, "Dia pendusta!"

Al-Imam Ad-Daruquthni berkata tentang Ibrahim bin Abdillah Ash-Shan'ani dari pamannya, "Dia (Ibrahim) pendusta!"

Al-Imam Ibnu Hibban berkata tentang Ahmad bin Al-Hasan bin Al-Qashim Al-Kufi, "Dia pendusta!"

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata tentang Ahmad bin Abi Du'ad Al-Qadhi, " Dia seorang Jahmi!" (menganut madzhab sesat Jahmiyyah)!"

Kami (Syaikh Muqbil) katakan, "Abdul Halim bin Mahmud (Syaikh Al-Azhar) adalah seorang mubtadi' (ahlul bid'ah) ghuluw dalam tashawwuf!"

"Sa'id Hawwa adalah seorang mubtadi' karena mengajak ta'asshub (fanatik) kepada kelompok Ikhwanul Muslimin." (Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 32 - 33)

Begitupula ketika menyampaikan peringatan kepada umat dari bahaya penyimpangan ahlul bid'ah, maka tidak ada keharusan untuk menyebut kebaikan-kebaikannya apalagi menyembunyikan penyimpangannya yang telah tersebar luas lantaran banyaknya kebaikan.

Kami beri contoh, si Fulan seorang yang dermawan banyak membangun masjid, banyak berinfaq membantu Muslimin, sering ke masjid, bersamaan dengan itu dia seorang pengedar narkoba. Apakah manusia tidak diperingatkan dari kejahatannya itu lantaran kebaikannya banyak?! Tentu tidak demikian, bahkan manusia harus diperingatkan dari bahaya orang tersebut meskipun berstatus Muslim karena keberadaannya dapat merusak generasi, bangsa dan negara. Apalagi jika yang dirusak adalah agama dan pemahaman kaum Muslimin tentu lebih keras lagi peringatkannya.

Syaikh Al-'Allamah Al-'Utsaimin ditanya mengenai kaidah yang dibikin oleh 'Adnan 'Ar'ur yaitu kaidah "Nushahhih wa Laa Nujarrih" (Kita sampaikan nasehat, tidak usah kita jarh), maka beliau menjawab:


هذا غلط! بل نجرح من عاند الحق

”Ini kaidah yang salah! bahkan kita menjarh (mengkritik) siapapun yang menentang kebenaran.”

Beliau juga ditanya mengenai kaidah "Inshaf" (HARUS menyebut jasa atau kebaikan orang yang dikritik) seperti yang diklaim oleh hizbiyyun masa kini. Maka tanggapan beliau:


في مقام الرد ما يحسن أني أذكر محاسن الرجل، إذا ذكرت محاسن الرجل وأنا أرد عليه ضعُف ردي .......أهل السنة وغير أهل السنة

"Dalam konteks bantahan tidak perlu menyebut kebaikan-kebaikannya. Sebab andaisaja aku sebutkan kebaikan-kebaikannya, padahal aku sedang membantah kesalahan dia tentu menjadi lemahlah bantahanku itu.... Baik yang dibantah itu Ahlussunnah maupun selainnya." (Daf'u Baghyi 'Adnan 'ala 'Ulama'issunnah wal Iman & ini juga tercantum dalam Majmu' Fatawa Syaikh 11/136)

Syaikh Al-'Allamah Abdul Muhsin Al-'Abbad berkata, "Ketika hendak mentahdzir seseorang apakah ia dituntut untuk mencari-cari kebaikannya dulu?? Anda perhatikan, ketika datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam guna menanyakan lamaran Mu’awiyah dan Abul Jahm ataa dirinya, apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Apakah beliau menyebut kebaikan-kebaikan Mu’awiyah bahwa ia adalah penulis wahyu dan dia orangnya begini dan begitu? Justru beliau mengatakan, “Adapun Mu’awiyah adalah orang yang “bokek” (yakni setelah pertimbangan agamanya dibanding calon yang lain, -pent). Hal itu beliau utarakan karena berkaitan dengan pernikahan. Sedangkan Abul Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dan ini adalah perkara yang sudah ma’lum, bahwa kasus ini berkaitan dengan bab tahdzir (peringatan). Dan dalam soal tahdzir, seseorang dituntut untuk menjelaskan sesuatu secara gamblang pada manusia di atas ilmu. Sehingga manusia mendapat faidah atas peringatannya itu sebagaimana yang diupayakan oleh penulis (yakni Syaikh Rabi’ Al-Madkhali).” (Syarh Sunan Abi Dawud – As-Syarith 171)

Lalu bagaimana bila seandainya ada ahlul bid'ah yang telah diperingatkan oleh para Ulama dengan bukti-bukti dan hujjah akan tetapi di sana ada sebagian Ulama yang memujinya dan membolehkan hadir di majlisnya?

Terkait hal ini berlaku kaidah "Al-Jarhul Mufassar Muqaddamun 'alat Ta'dil Al-Mujmal" (celaan yang rinci lebih didahulukan dari pujian yang global).  Kaidah ini telah disepakati oleh para Ulama.

Al-Hafidzh Al-Khathib Al-Baghdadi berkata, "Para Ulama telah sepakat siapa saja yang dicela oleh seorang atau dua orang namun dia dipuji oleh sebanyak orang itu, maka celaan atasnya lebih diunggulkan. Sebab pihak yang mencela menyampaikan perkara yang tersembunyi yang diketahui oleh yang memuji." (Al-Kifayah Fi Ilmir Riwayah, hal. 105)

Al-Imam An-Nawawi menyampaikan, "Apabila terkumpul celaan dan pujian pada diri seseorang maka celaan lebih diutamakan daripada pujian, sebab pihak yang mencela itu memiliki ilmu yang lebih tentangnya." (Al-Irsyad 1/287)

Selama para Ulama yang mengkritik dan mencela menyebutkan sebab-sebab celaannya itu dengan rinci berdasarkan bukti ilmiyyah dan hujjah maka itu yang harus diunggulkan. Karena pihak yang memuji boleh jadi belum mengetahui penyimpangan orang yang dipujinya.

Maka celaan Imam Malik terhadap Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya lebih diunggulkan oleh para Ulama ketimbang pujian Imam Asy-Syafi'i terhadapnya. Karena Imam Malik mengetahui perkara yang tersembunyi yang tidak diketahui oleh Imam Asy-Syafi'i. Kendati demikian, pujian Imam Asy-Syafi'i yang berdasarkan ijtihadnya itu tidaklah mengurangi sedikitpun kedudukan beliau sebagai seorang Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjadi rujukan sebagaimana Imam Malik.

Jika ahlul bid'ah membantah ahlul bid'ah yang lainnya atau membantah orang-orang kafir bolehkah kita jadikan rujukan?

Marwan bin Muhammad At-Thathiri Al-Asadi berkata:


ثلاثة لا يؤتمنون في دين, الصوفي، والقصاص, ومبتدع يرد على على أهل الأهواء

“Tiga kelompok yang tidak dapat di percaya dalam urusan agama, Shufi, para pendongeng, ahlul bid’ah yang membantah ahlul ahwa’.” (Tartibul Madarik wa Taqribul Masalik Al-Qadhi ‘Iyadh 3/226)

Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani:


ولا ينبغي أن يسمع قول مبتدع في مبتدع

“Tidak sepantasnya seseorang mendengar bantahan ahlul bid’ah atas ahlul bid’ah yang lainnya.” (Muqaddimah Fat-hul Bari hal. 512)

Maka bantahan-bantahan yang bersumber dari para Ulama Sunnah telah mengenyangkan kita dan menghilangkan dahaga. 

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar