Kamis, 24 Desember 2015

Benarkah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menganjurkan perayaan maulid Nabi??

Benarkah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menganjurkan perayaan maulid Nabi? Jawabannya kami uraikan dalam beberapa poin di bawah ini:

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah salah seorang Ulama yang istiqomah berjalan di atas aqidah Salaf. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang lantang terhadap bid'ah dan membantah ahlul bid'ah. Hal ini ditunjukkan oleh karya-karya beliau yang sudah tersebar luas.


2. Nash perkataan Ibnu Taimiyyah terkait maulid sebagai berikut:


ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلى الله عليه و سلم وتعظيما له والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه و سلم عيدا مع اختلاف الناس في مولده فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضى له وعدم المانع منه ولو كان هذا خيرا محضا أو راجحا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه و سلم وتعظيما له منا وهم على الخير أحرص وإنما كمال محبته وتعظيمه في متابعته وطاعته واتباع أمره وإحياء سنته باطنا وظاهرا ونشر ما بعث به والجهاد على ذلك بالقلب واليد واللسان فإن هذه هي طريقة السابقين الأولين من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان

"Apa yang diada-adakan oleh sebagian orang, boleh jadi perbuatan mereka menyerupai orang-orang Nashroni yang merayakan milad (kelahiran) Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, dan boleh jadi karena mereka menyintai dan mengagungkan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam sehingga mungkin saja Allah memberi ganjaran kepada mereka disebabkan oleh kecintaan dan kesungguhan mereka, bukan karena bid’ah maulid yang mereka ada-adakan dengan perayaan. Bersamaan dengan itu para Ulama telah berselisih pendapat dalam menentukan kapan tanggal kelahiran beliau. Perayaan maulid sama sekali tidak pernah dilakukan oleh para Salafussholih; padahal saat itu faktor pendorongnya ada, sedangkan faktor penghalangnya tidak ada (artinya sangat mungkin dilakukan namun nyatanya mereka tinggalkan, -pent). Seandainya hal itu baik atau lebih bermaslahat tentu para Salafussholih rodhiyallahu 'anhum lebih dulu melakukannya ketimbang kita. Sebab telah ketahui bersama bahwa mereka para Shahabat adalah orang yang paling mencintai Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan paling mengagungkan beliau daripada kita. Mereka adalah orang-orang yang lebih kuat semangatnya dalam kebaikan dibanding kita. Dan sungguh kecintaan dan pengagungan kepada beliau yang sempurna hanyalah dengan mengikuti jalan beliau dan menaati beliau dengan menjalankan segenap perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara lahir batin, serta menyebarkan ajaran beliau dan berjihad dengan hati, tangan maupun lisan. Begitulah jalan para pendahulu umat ini dari kalangan Muhajirin, Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan." (Iqtidho Shirothil Mustaqim hal. 294-295)

Tegas Ibnu Taimiyyah menilai perayaan maulid sebagai amalan bid'ah. Bahkan boleh jadi hal itu tergolong tasyabbuh (menyerupai) kebiasaan Nashoro. 

Kendati demikian, beliau menyampaikan bahwa orang yang benar-benar tulus niatnya mencintai Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan mengagungkan beliau boleh jadi mendapat pahala terlepas dari amalan bid'ahnya itu. Jadi diganjar bukan karena merayakan maulid akan tetapi lantaran niatnya yang tulus bukan bermaksud menyelisihi syariat.

3. Andaikata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membolehkan perayaan maulid maka pendapat beliau tidak diterima lantaran menyelisihi dalil bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang bukan dari ajaran kami maka tertolak." (HR. Muslim)

Perbedaan pendapat dalam masalah ini tidak tergolong mu'tabar (tidak teranggap). Perhatikan ucapan Al-Imam Asy-Syafii rohimahullah:


كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني

“Setiap dari pendapatku, kemudian ada riwayat shohih dari Nabi menyelisihi pendapatku itu maka hadits Nabi lebih pantas diikuti, janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafii hal. 93 & Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in 4/45)

4. Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid'ah mengadopsi pendapat Ulama yang cocok dengan hawa nafsunya. Selama cocok dipakai meski dia sosok Ulama yang sangat dibenci, apabila tidak cocok maka ditolak tanpa menimbang dalil maupun sisi pendalilannya.

5. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa yaitu puasa Senin karena beliau dilahirkan hari Senin, bukan dengan merayakan tanggal kelahirannya.

Perayaan maulid dalilnya tidak ada karena baru diadakan pada abad ke 4 Hijriyah oleh daulah Syiah Fathimiyyah jauh sepeninggal Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para shohabatnya. Orang-orang Syiah memang dikenal dengan pengultusan dan perbuatan yang melampaui batas.

6. Ibadah tetaplah ibadah sekalipun dibungkus dengan istilah tradisi ataupun kebiasaan. Karena dalam amalan ibadah ada unsur pengagungan, keutamaan, serta dalam rangka taqorrub (mendekatkan diri kepada Allah).

Sekalipun ada kebaikannya dalam kegiatan maulid seperti pelajaran siroh, akan tetapi kebaikan yang ada dalam kegiatan bid'ah tersebut tidaklah dapat mengubah kebatilan menjadi kebaikan. 

Tidak ada yang menghalangi kita dari perayaan maulid selain kecintaan kita kepada Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Sedangkan orang-orang yang paling mencintai beliau yaitu keluarga dan para shohabat beliau sama sekali tidak ada yang merayakannya.
_________________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar