Jumat, 09 Oktober 2015

Hukum Tathoyyur (Anggapan Sial) & Kaffarohnya


Beranggapan sial ketika melihat burung tertentu, atau mendengar suara burung, atau melihat ular di jalan sehingga mengurungkan niatnya untuk bepergian, semua ini adalah tradisi kaum musyrikin di masa jahiliyyah yang disebut dengan “tathoyyur”. Allah berfirman:

“Ketahuilah, bahwa petaka kesialan yang menimpa mereka adalah taqdir dari Allah. Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (Al-A’rof: 131)

Yakni berbagai kejadian tentang kebaikan maupun kejelekan di dunia ini semuanya telah dikehendaki oleh Allah dalam ketentuan taqdir-Nya yang Mahasempurna. Semua itu adalah kekuasaan Allah yang sulit diterjemahkan oleh nalar manusia.

Tathoyyur pada hakikatnya prasangka jelek dalam hati seseorang. Ketawakkalannya kepada Allah hilang sehingga dia buruk sangka kepada Allah dan baik sangka kepada selain-Nya. Dia takut dan merasa was-was manakala ingin melakukan sesuatu yang ma’ruf karena melihat pertanda ini dan itu, atau bayangan begini dan begitu, yang sebetulnya tak ada hubungan sebab akibat secara syari'at maupun dinalar oleh akal yang sehat. Dalam hati dan pikirannya yang ada hanyalah sial, sial dan sial tanpa menggantungkan dirinya kepada Allah dengan tawakkal.

Dari Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الطيرة شرك ، الطيرة شرك

“At-Thiyaroh (beranggapan sial) adalah kesyirikan, At-Thiyaroh adalah kesyirikan. Tak ada seorangpun di antara kita (kecuali pernah berpikiran seperti itu). Akan tetapi Allah menghilangkan dari dirinya dengan bertawakkal.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan dinilai shohih beliau - kalimat terakhir adalah perkataan Ibnu Mas’ud)

At-Thiyaroh dianggap syirik kecil bila seseorang meyakini kesialan itu dikehendaki oleh Allah akan tetapi melalui sebab hewan, benda, hari atau bayangan pikiran yang sama sekali tidak ditetapkan oleh dalil maupun hubungan sebab akibat yang dapat dinalar. Namun tathoyyur ini dapat beralih menjadi syirik besar, bila kesialan itu diyakini terjadi oleh sebab hewan dengan sendirinya, benda, hari atau bayangan pikirannya semata.

Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا عدوی ولا طيرة ويعجبني الفَأْلُ

“Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya, tidak ada thiyaroh, dan aku menyukai Al-Fa’lu. Para Shohabat bertanya apa itu Al-Fa’lu? Beliau menjawab, Ucapan yang baik.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Syaikh Sholih Alu Syaikh menjelaskan, “Al-Fa’lu adalah sikap baik sangka terhadap Allah, sedangkan tathoyyur adalah sikap buruk sangka terhadap-Nya. Maka Al-Fa’lu adalah perilaku yang terpuji, sebaliknya tathayyur tercela.” (Kifayatul Mustazid)

Oleh sebab itu, keimanan seseorang sangat bergantung dengan optimisme dan baik sangkanya ia kepada Allah. Al-Fa’lu adalah amalan yang sangat dianjurkan, dengannya hati seseorang akan lapang dan mudah menepis bisikan-bisikan syaithon yang membikin pesimis dan menyempitkan dada sebelum berusaha. Sekalipun sudah berusaha, maka rasa was-was maupun perasaan takut dapat ia tepis dengan ketawakkalannya kepada Allah.

Namun bagaimana dengan dua hadits berikut yang nampaknya saling bertolak belakang?

Hadits pertama dari Ibnu ‘Umar menyebutkan, “Kesialan itu ada dalam tiga hal, rumah, wanita dan kuda.”

Hadits kedua dari Sahl bin Sa’d, “Jika seandainya kesialan itu ada maka ada pada wanita, kuda, dan rumah.”

Kedua hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dalam shohih keduanya. Para Ulama berselisih pendapat dalam memahaminya. Sebagian Ulama menguatkan hadits yang kedua dan melemahkan hadits yang pertama. Sebagian yang lain mengatakan keyakinan sial itu tidak ada kecuali hanya khusus dalam tiga perkara. Sebagian Ulama yang lainnya menjama’ (mengompromikan) kedua hadits tersebut dengan mengatakan kesialan pada wanita (isteri), kuda, rumah terjadi hanyalah karena ada indikator celaan pada masing-masingnya. Yakni isteri karena jeleknya perilaku, rumah karena jeleknya tetangga, kuda karena tidak nyaman ditunggangi. Jadi bukan anggapan sial seperti yang diyakini oleh orang-orang jahiliyyah yang tidak diketahui indikatornya, tidak jelas hubungan sebab akibatnya, sebagaimana yang telah kami singgung di muka.

Jika Bertathoyyur Apa Kaffarohnya?

Dari Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

من ردته الطيرة من حاجة فقد أشرك، قالوا: يا رسول الله ما كفارة ذلك؟

“Barangsiapa yang mengurungkan niatnya dari menjalankan suatu keperluan karena At-Thiyaroh (beranggapan sial) maka sungguh ia telah berbuat kesyirikan.” Para Shohabat bertanya, “Wahai Rosulullah, lantas apa kaffarohnya (tebusannya)?

قال أن يقول أحدهم؛ اللهم لا خير إلا خيرك ولا طير إلا طيرك ولا إله غيرك

Beliau menjawab, “Hendaklah ia mengucapkan, “Alloohumma laa khoyro illa khoyruk, wa laa thoyro illa thoyruk, wa laa ilaaha ghoyruk”, (Artinya) “Ya Allah, tidak ada kebaikan melainkan kebaikan yang berasal dari Engkau, dan tidaklah ada kesialan kecuali yang telah Engkau taqdirkan, dan tidak ada sesembahan yang benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)

Orang yang bertathoyyur tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, ia urungkan niatnya dan membatalkan keinginannya. Kedua, ia melanjutkannya namun diliputi oleh was-was dan ketakutan. Maka doa di atas diucapkan manakala seseorang terjatuh dalam dua kondisi tersebut, wa billahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar