Sabtu, 05 September 2015

Hukum Mengirim Pahala Bacaan Al-Fatihah

Assalamu'alaikum, ustadz bagaimana hukumnya mengirim pahala bacaan quran untuk mayit? Benarkah Ibnu Taimiyah membolehkannya? Jazakumullahu khairan.

Jawab: Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Mengirim bacaan Qur'an (seperti Al-Fatihah) yang ditujukan untuk mayyit seorang Muslim hukumnya diperselisihkan oleh para Ulama. 

Abu Hanifah, Imam Ahmad serta para Ulama yang sejalan dengannya berpendapat menghadiahkan pahala dari amalan sholih secara mutlak sampai kepada mayyit. Dalilnya sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam yang memerintahkan wanita untuk membayar utang puasa ibunya yang telah wafat.

Sebaliknya, Imam Malik, Imam Asy-Syafii dan para Ulama yang sejalan dengannya berpendapat menghadiahkan pahala seperti itu tidak sampai kepada si mayyit. Dalilnya firman Allah, "Dan seseorang tidak akan memperoleh selain apa yang diusahakannya." Kecuali amalan-amalan yang ditunjukkan oleh dalil sampainya pahala seperti doa, shodaqoh, membayar puasa nadzar, haji dan umroh.

Sebelum masuk dalam poin tarjih (menentukan pendapat yang lebih kuat), perlu kita ketahui bersama, bahwa mengirim bacaan Qur'an yang dimaksud tidaklah sama dengan ritual "tahlilan" atau "Yasinan" yang dikhususkan hari-harinya seperti yang dilakukan oleh masyarakat. Pun bacaan Qur'an yang diniatkan pahalanya itu tidak dilafalkan secara berjamaah yang dikomando dengan satu suara. Yakni di sana ada dua kondisi yang berbeda. Maka dari itu pendapat yang lebih rojih (kuat) di sisi kami adalah pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafii dan para Ulama yang bersama keduanya. 

Kaidahnya, "Hukum asal ibadah adalah terlarang, tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mensyariatkan." Artinya perkara ibadah ini terbatas pada dalil, tidak berlaku qiyas (analogi) di dalamnya, sehingga menyamakan semua amalan sholih dapat dihadiahkan pahalanya; seperti menyamakan bacaan Qur'an dengan doa maupun shodaqoh; ini tidak dapat diterima bila kita melihat kaidah-kaidahnya.

Adapun perintah Nabi shollallahu 'alaihi wasallam kepada seorang wanita agar membayar utang puasa ibunya, maka yang dimaksud adalah puasa nadzar yang wajib dibayar oleh anaknya. Riwayatnya telah disebutkan oleh Abu Dawud dari Ibnu 'Abbas rodhiyallahu 'anhuma.

Lalu bagaimana dengan riwayat berikut:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِه

“Dari Ibnu Umar rodhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Aku mendengar Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika salah seorang dari kalian meninggal, maka janganlah kalian menunda-nunda dan segerakanlah pemakamannya. Dan hendaklah didekat kepalanya dibacakan surat Al-Fatihah dan dekat kedua kakinya dibacakan penutup surat Al-Baqoroh di kuburnya.” (HR. At-Thobaroni dalam Al-Kabir no. 13613, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 9294)

Sanad riwayat ini ada kelemahan yaitu Yahya bin Abdillah bin Ad-Dhohhak Al-Babulati dinilai lemah oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar dalam "At-Taqrib", sedang Syaikhnya sendiri yang bernama Ayyub bin Nuhaik dinilai lemah oleh Abu Hatim, dan Abu Zur'ah melabeli "munkarul hadits". Atas dasar itulah Syaikh Al-'Allamah Al-Albani berkata riwayatnya "dho'if jiddan" (sangat lemah). Adalah sebuah kejanggalan bila Al-Hafidzh Ibnu Hajar menghukumi sanadnya hasan di tempat lain.

Begitupula dengan redaksi-redaksi serupa seperti yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Lalaka'i maupun atsar Shohabat, semua riwayatnya berkisar lemah. Karenanya Al-Hafidzh Ibnu Katsir saat menerangkan tafsir surat An-Najm ayat 39 menegaskan, bahwa mengirimkan bacaan Qur'an kepada mayyit tidak akan sampai pahalanya. Hal itu tidak pernah dianjurkan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan tidak pernah dicontohkan oleh para Shahabat. Seandainya perkara itu baik niscaya Rosulullah dan para Shahabatnya telah mendahului kita dalam mengamalkannya.

Kendati demikian, janganlah perbedaan pendapat dalam masalah ini menjadi sebab percekcokan umat Islam. Karena masalah ini tergolong khilaf yang mu'tabar (perselisihan yang diakui karena sama-sama memiliki sudut pandang yang kuat). Masing-masing pihak hendaknya tetap kritis dan berusaha mencapai kepastian ilmiyyah dengan meneliti dalil-dalil dan cara pendalilannya; meskipun pihak yang melarang menilai bid'ah dan yang membolehkannya menganggap sunnah.

Lalu bagaimana dengan fatwa Ibnu Taimiyyah yang mengatakan sampainya pahala bacaan Qur'an? Jawab, benar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berijtihad menguatkan pendapat sampainya bacaan Qur'an kepada mayyit. Namun di tempat yang lain beliau tegas mengatakan hal itu bukanlah termasuk kebiasaan Salaf. Maka permasalahan ini sudah semestinya kita kembalikan dalil. Wa billahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar