Rabu, 08 Juli 2015

Wanita Lebih Utama Menetap di Rumahnya, Keluar Jika Ada Keperluan

Allah yang Mahamengetahui kemaslahatan hamba-Nya tengah memerintahkan para wanita untuk menetap di rumahnya:


وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولی

“Dan hendaklah para wanita menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah sekali-kali kalian bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti wanita-wanita jahiliyyah dahulu." (Al-Ahzab: 33) 

Para Ulama berselisih pendapat apakah ayat ini berlaku khusus  bagi isteri-isteri Nabi saja ataukah seluruh wanita? Mereka juga  berbeda pendapat apakah perintah dalam ayat tersebut bermakna wajib ataukah anjuran (lebih utama)?

Pendapat yang lebih rajih (kuat) di sisi kami adalah ayat tersebut sekalipun konteksnya mengenai isteri-isteri Nabi akan tetapi berlaku pula bagi para wanita selain mereka. Inilah pendapat yang dipegang oleh Al-Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya serta para Ulama selain beliau. Sama seperti larangan tabarruj jahiliyyah, ketentuan itu juga berlaku bagi para wanita secara keseluruhan, tidak dikhususkan bagi isteri-isteri Nabi. Dan pendapat ini sejalan dengan kaidah tafsir, "Adalah yang menjadi patokan umumnya lafal, bukan kekhususan sebab turunnya ayat."

Adapun kalimat perintah yang tersurat dalam ayat tersebut dibawa kepada makna anjuran bukan kewajiban. Sebab ada dalil-dalil yang memalingkan perintah tersebut dari hukum asalnya. Ini pendapat yang dipegang oleh Ibnu Batthal dalam "Syarh Shahih  Al-Bukhari" dan Ibnu Hajar Al-'Asqalani dalam "Fat-hul Bari".

Dalilnya sebagai berikut:


لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن

“Janganlah kalian melarang isteri-isteri kalian pergi ke masjid-masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka." (HR. Ahmad 2/76, Abu Dawud 567 dan dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shahih Sunan Abi Dawud")

Shalatnya wanita di masjid hukumnya mubah, jika saja menetap di rumah hukumnya wajib, maka tentunya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan melarang para wanita keluar dari rumahnya hanya untuk menunaikan sesuatu yang mubah.

'Aisyah berkata, “Setelah turun ayat hijab, Sawdah (salah seorang isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, -pen) keluar di waktu malam karena ada kebutuhan. Sawdah adalah wanita yang berperawakan tinggi besar sehingga mudah dibedakan dari wanita-wanita selainnya. Saat itu 'Umar melihatnya dan mengenalinya, ia berkata, “Wahai Sawdah! demi Allah kami tetap bisa mengenalimu” maka Sawdah segera mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang kala itu sedang berada di rumahku ('Aisyah). Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang makan malam dan di tangan beliau ada sepotong daging, maka masuklah Sawdah seraya mengadu, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar karena keperluanku dalam keadaan berhijab, tetapi 'Umar mengatakan ini dan itu." Maka saat itu turunlah wahyu kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau bersabda, “Sungguh kalian telah diizinkan untuk keluar karena keperluan kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 4795 dan Muslim no. 1709)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang memalingkan dari hukum asalnya. Maka menetapnya para wanita di rumah mereka hukumnya sunnah (lebih utama), lebih-lebih lagi di masa fitnah seperti sekarang sangat ditekankan lagi. Hal itu bukanlah sebagai kezaliman, mengurangi kebebasan, atau bahkan penjara bagi mereka. Menetapnya para wanita di rumahnya tentu mereka akan lebih terjaga, mudah menunaikan kewajiban dirinya, orangtuanya, urusan rumah tangganya serta mendidik anak-anaknya secara maksimal.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar