Rabu, 08 Juli 2015

Pilar-Pilar Dakwah (Amanat Bagi Para Pegiat Dakwat)

Dakwah kepada agama Allah adalah jalannya para Nabi dan para Rasul ‘alaihimusshalatu wassalam. Bahkan dakwah kepada agama Allah menjadi misi utama yang diperjuangkan oleh mereka. Oleh sebab itu berdakwah di jalan Allah merupakan amalan yang sangat agung dan dicintai oleh Allah ta’ala. Allah berfirman:


ومن أحسن قولا ممن دعا إلى الله وعمل صالحا

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal shalih.” (Fusshilat: 33)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, "Yakni tak ada yang lebih baik perkataannya dan jalannya daripada perkataan dan jalannya orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah." (Taisirul Karimirrahman hal. 749)

Dalam ayat lain Allah menegaskan amalan dakwah kepada agama-Nya dengan redaksi perintah:


ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang berdakwah kepada kebaikan, dan memerintahkan yang kepada ma’ruuf serta melarang dari perbuatan munkar.” (Al-‘Imran: 104)

Yakni hendaknya di antara kamu wahai orang-orang yang beriman, yang telah Allah anugerahi keimanan serta berpegang teguh dengan agama-Nya, ada sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan yaitu segala perkara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya. Dan memerintahkan kepada yang ma’ruuf, yakni diketahui secara akal maupun syariah tentang kebaikannya, dan melarang dari perbuatan yang munkar.” (Taisirul Karimirrahman hal. 142)

Maka kedua ayat di atas cukup menunjukkan kepada kita bahwa betapa besarnya amalan dakwah kepada agama Allah ta’aala. Begitu pula dengan orang-orang yang berkutat dalam dunia dakwah, praktis kedudukan mereka sangat mulia di sisi-Nya.

Kendati demikian, amalan dakwah ini dibangun di atas pilar-pilar yang tidak boleh diabaikan. Di saat salah satu pilarnya hilang, maka dakwah tersebut akan melenceng dari kebenaran. Sebagaimana kenyataan yang terjadi pada mayoritas gerakan dakwah saat ini. Dakwah mereka tidak tegak di atas pilar-pilar dan prinsip-prinsip yang sangat asasi. Hanya bermodalkan semangat dan pandai bicara, akan tetapi bobot, kualitas serta tanggungjawab ilmiyyahnya tidak ada.

Syaikh Al-'Allamah Shalih Al-Fawzan حفظه الله menguraikan pilar-pilar dakwah yang disebutkan dalam Al-Qur’an was Sunnah sebagai berikut:

[1]. Berilmu Tentang Apa yang Didakwahkan

Orang yang bodoh (jaahil) tentang ilmu agama ini, maka ia tidak layak menjadi seorang da’i. Allah  berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, “Katakanlah (hai Muhammad), “Inilah jalan (agama)-Ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas Bashirah….” (Yusuf: 108)

Yang dimaksud dengan bashirah dalam ayat ini adalah ilmu. Seorang da’i ilallaah dalam perjalanan dakwahnya pasti akan menghadapi para pelopor kesesatan yang akan melemparkan berbagai syubhat (pengkaburan) kepadanya. Para pelopor kesesatan itu akan mendebatnya dengan kebaathilan agar kebenaran dapat ditundukkan. Maka jika seorang da’i tidak dipersenjatai ilmu guna menghadapi segala syubhat tersebut dan membantahnya dalam perdebatan, sungguh ia akan kalah di awal pertemuan, dan berhenti di awal jalan.

[2]. Beramal dengan Apa yang Ia Dakwahkan

Hal ini agar ia menjadi qudwah hasanah. Perbuatannya sesuai dengan perkataannya, sehingga tidak ada hujjah lagi bagi ahlul batil atas du’at ilallaah. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan beramal shalih.” (Fusshilat: 33)

[3]. Niat yang Ikhlas

Dakwah yang ia serukan itu semata-mata demi mengharapkan Wajah Allah, bukan untuk tujuan riyaa’ ataupun sum’ah, mencari jabatan, popularitas dan segala ambisi duniawi lainnya. Karena apabila tujuan-tujuan tersebut telah mencampuri niatnya, maka dakwahnya itu bukan untuk Allah, akan tetapi seruan untuk mengajak orang lain kepada dirinya atau ambisi-ambisi duniawi lainnya. Allah telah memberitakan tentang keadaan para Nabi ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Tidaklah aku meminta upah dari kalian.” (Al-An’am: 90)

[4]. Memulai dari Perkara yang Paling Penting, Kemudian yang Penting dan Selanjutnya

Perkara yang paling penting ialah dimulai dengan upaya perbaikan aqidah, yaitu memerintahkan keikhlasan niat dalam beribadah kepada Allah, dan melarang dari perbuatan syirik. Kemudian perintah menegakkan shalat dan menunaikan zakat, serta menjalankan segala perkara yang diwajibkan dan meninggalkan segala perkara yang dilarang. Hal itu merupakan jalan dakwah yang ditempuh oleh segenap Rasul. Allah berfirman:

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, kemudian mereka menyembah-Nya.” (Al-Anbiya': 25)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah hal pertama yang engkau serukan adalah persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah. Jika mereka mau menaatimu untuk menjalankannya, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam….” 

Manhaj dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta perjalanan dakwah beliau merupakan sebaik-baik qudwah dan metode yang paling sempurna. 

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Makkah selama tigabelas tahun, dan selama itu pula beliau menyeru manusia kepada tauhid dan melarang dari perbuatan syirik, sebelum memerintahkan kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji. Dan sebelum melarang mereka dari praktek riba, zina, mencuri dan membunuh jiwa dengan cara yang tidak benar.

[5]. Bersabar dari Kesulitan Ketika Berdakwah di Jalan Allah

Sesungguhnya jalan dakwah ini tidaklah berhamparkan bunga mawar, akan tetapi jalan ini diliputi dengan sesuatu yang dibenci dan berbagai macam bahaya. Dalam hal ini, sebaik-baik teladan kita adalah para Rasul ‘alaihimusshalatu wassalam. Mereka telah melewati berbagai macam gangguan serta penghinaan dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam:

ولقد استهزئ برسل من قبلك فحاق بالذين سخروا منهم ما كانوا به يستهزئون

“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa Rasul sebelummu, maka turunlah kepada orang-orang yang menghinakan itu balasan dari olok-olokan mereka.” (Al-An’am: 10)

ولقد كذبت رسل من قبلك فصبروا على ما كذبوا وأوذوا حتى أتاهم نصرنا

“Dan sesungguhnya telah didustakan pula Rasul-Rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan gangguan itu, sehingga datang pertolongan Kami kepada mereka.” (Al-An’am: 34)

Demikian pula yang akan dijumpai oleh para pengikut Rasul. Mereka mendapati  banyak gangguan maupun kesulitan-kesuliatan sesuai dengan kontribusi mereka dalam berdakwah kepada agama Allah. Hal itu sebagai konsekuensi dalam meniti jejak para Rasul terdahulu ‘alaihimusshalatu wassalam.

[6]. Berhias dengan Akhlaq yang Mulia dan Hikmah dalam Berdakwah

Dengan akhlaq yang mulia serta hikmah dalam berdakwah maka akan lebih mudah untuk diterima manusia. Hal itu sebagaimana perintah Allah kepada Nabi-Nya, Musa dan Harun ‘alaihimassalam. Ketika keduanya menghadapi manusia yang paling kufur di muka bumi ini, yaitu Fir’aun yang mengklaim sifat rububiyyah pada dirinya, Allah berfirman:

“Maka katakanlah kepadanya (Fir’aun) dengan perkataan yang lembut. Semoga dengan begitu ia menjadi sadar atau takut.” (Thaha: 44)

“Serulah kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik.” (An-Nahl: 125)

[7]. Memiliki Cita-Cita yang Kuat

Seorang da’i hendaknya tidak merasa pesimis dengan pengaruh dakwah dan hidayah kaumnya. Ia juga tidak pesimis dengan pertolongan dan kemenangan dari Allah ta’ala, sekalipun membutuhkan waktu yang cukup panjang dan masa penantian yang begitu lama. Lihat bagaimana keteguhan hati para Rasul Allah dan mereka adalah sebaik-baik qudwah dalam berdakwah kepada agama Allah. Lihat Nabi Nuh ‘alaihissalam, beliau menetap bersama kaumnya selama 950 tahun sambil terus menyeru ke jalan Allah.

Demikian pula Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, ketika gangguan orang-orang kafir semakin menjadi-jadi, beliau tetap bersabar dan malaikat penjaga gunung pun datang kepada beliau guna meminta izin untuk menimpakan gunung “Al-Akhsyabain” kepada mereka, akan tetapi beliau berkata:

“Jangan! hendaknya engkau bersabar terhadap mereka. Semoga Allah mengeluarkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang hanya menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.”

Maka apabila sifat ini telah hilang dari seorang da’i, ia akan berhenti di awal jalan dan pulang membawa kegagalan. Dakwah apapun yang tidak tegak di atas prinsip-prinsip ini dan menyelisihi manhajnya para Rasul, maka dakwahnya akan gagal dan sia-sia. Hanya capek saja yang ia dapat, dan sama sekali tidak ada faidahnya.

Bukti konkret dalam masalah ini ialah gerakan jama’ah-jama’ah dakwah kontemporer yang menggariskan manhaj dakwahnya berlainan dengan manhaj dakwah yang telah digariskan oleh para Rasul. Jama’ah-jama’ah ini –kecuali sedikit sekali dari mereka- telah mengabaikan sisi aqidah. Mereka hanya sibuk menyerukan perbaikan dari sisi-sisi lain, tanpa memperhatikan sisi aqidah sebagai persoalan paling mendasar. (Manhajul ‘Anbiya’ fid Da’wah Ilallaah fihil Hikmah wal ‘Aql” hal. 19 karya Syaikh Al-'Allamah Rabi' Al-Madkhali)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar