Rabu, 08 Juli 2015

Menyikapi Fatwa Ulama Secara Ilmiyyah

Al-Imam Ibnul Qoyyim berkata, "Bila terdapat nash (dalil Al-Qur’an was Sunnah) maka para Ulama hendaknya berfatwa sesuai dengan dalil dan tidak berpaling menyelisihinya, tidak pula berpaling kepada fatwa siapapun yang menyelisihi dalil. Maka seorang mufti (juru fatwa) semestinya tidak perlu menoleh kepada pendapatnya Umar bin Al-Khotthob dalam perkara wanita yang ditalak tiga oleh suaminya, karena pendapat Umar menyelisihi riwayat shohih dari Fathimah binti Qois yang mengabarkan keputusan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah itu." (I'lamul Muwaqqi'in 1/23)

Umar berpendapat wanita yang ditalak tiga tetap tinggal di rumah suaminya dan mendapat uang belanja. Sedangkan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam berkata, wanita yang telah ditalak tiga tidak berhak tinggal di rumah suaminya dan tidak mendapatkan uang belanja sebagaimana hadits yang diriwayatian Fathimah binti Qois. Maka pendapat Umar gugur dengan sendirinya karena menyelisihi dalil. Kendati hal tersebut  tidak mengurangi kehormatan Umar dan keutamaan beliau sebagai seorang shohabat yang mulia.

Sedangkan fatwa seorang shohabat yang tidak sesuai dalil itu bukan karena sengaja-sengaja menyelisihinya, akan tetapi karena belum sampainya riwayat tersebut kepadanya atau tidak hadir dalam ingatannya. Maka setiap kali ada shohabat yang keliru bergaya berfatwa maka akan muncul shohabat lain meluruskannya.

Begitu pula dalam menyikapi fatwa Ulama sepeninggal para shohabat. Andaikata ada seorang Ulama atau sekelompok Ulama dalam fatwanya itu menyelisihi dalil, pasti akan bangkit para Ulama lainnya yang mengoreksi sesuai apa yang ditunjukkan oleh dalil.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وليس لأحد أن يحتج بقول أحد في مسائل النزاع، وإنما الحجة النص، والإجماع، ودليل مستنبط من ذلك تقرر مقدماته بالأدلة الشرعية، لا بأقوال بعض العلماء، فإن أقوال العلماء يحتج لها بالأدلة الشرعية، لا يحتج بها على الأدلة الشرعية

"Dan bagi seseorang tidak boleh berhujjah dengan pendapat orang lain dalam perkara yang diperselisihkan. Hujjah hanyalah nash (dalil Al-Qur'an was Sunnah), ijma’, dan petunjuk yang bersumber darinya yang ditetapkan berdasarkan dalil-dalil syar’i, bukan hanya berdasarkan perkataan sebagian Ulama semata. Fatwa sebagian Ulama baru bernilai hujjah oleh sebab keberadaan dalil-dalil syar’i. Bukan sebagai hujjah yang bisa dipakai untuk menentang dalil-dalil syar’i." (Majmu’ Fatawa 26/202)

Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i menasehatkan:

أن نحب علمائنا حبا شرعيا ,ولا نقلدهم ولا نتعصب لهم (اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ) ولم يوجد في عهد الصحابة بكريا,ولا عمريا بمعنى أنه يأخذ بجميع أقوال أبي بكر وعمر ويتعصب له,أو بأقوال عمر ويتعصب له .فنحن أهل سنة نحب علمائنا حبا شرعيا ,ولا نرضى لأحد أن ينتقصهم لكن ما نقلدهم ,التقليد حرام

"Sesungguhnya kita mencintai para Ulama kita dengan kecintaan yang syar'i. Kita tidak taqlid dan tidak pula fanatik kepada perseorangan di antara mereka. Allah berfirman, "Ikutilah wahyu yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan janganlah kalian mengikuti pelindung-pelindung selain Allah. Amatlah sedikit apa yang kalian ingat." Di masa shohabat tidak ada "Bakriyyan", "Umariyyan" yakni mengambil perkataan Abu Bakr seluruhnya atau perkataan 'Umar seluruhnya dalam rangka fanatik. Kita Ahlussunnah mencintai para Ulama kita dengan kecintaan yang syar'i, dan kita tidak pernah ridho terhadap seorangpun yang melecehkan para Ulama Sunnah. Kendati demikian, tidak berarti kita taqlid karena taqlid buta adalah haram." (Ajwibatul 'Ilmiyyah 'alal As'ilah Al-Wushobiyyah)

Maka para tholabatul 'ilmi wajib menelaah dalil secara ilmiyyah setiap kali mendapati perbedaan pendapat di antara Ulama. Sedikit atau banyaknya fatwa bukan menjadi patokan. Karena kebenaran hanya ditunjukkan oleh dalil sekalipun untuk memahaminya tetap melalui bimbingan para Ulama juga. Ikutilah dalil bila telah nampak dalam suatu permasalahan dan tinggalkan taqlid buta. Demikian sikap ilmiyyah yang diajarkan oleh Salafussholih kepada kita.

Perbedaan Pendapat dalam Masalah Fiqhiyyah

Al-Imam Qotadah, “Barangsiapa yang tidak mengetahui perselisihan Ulamas ungguh hidungnya belum mencium aroma fiqh.” (Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih 2/814)

Para Ulama berkata, Terkadang dalam satu pembahasan fiqhiyyah dalil-dalilnya bersifat global (umum) maka dalam kasus seperti ini berlaku kaidah, “Tidak ada pengingkaran dalam masalah yang diperselisihkan."

Terkadang dalilnya shorih (tegas) akan tetapi masih diperselisihkan keabsahannya atau di sana ada penentangnya yang lebih kuat. Maka perbedaan pendapat semacam ini tidaklah tercela. Hendaknya setiap kita berusaha mencapai kepastian ilmiyyah berdasarkan kaidah-kaidah yang diajarkan oleh para Ulama.
________________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar