Rabu, 08 Juli 2015

Hakikat "Al-Jarh wat Ta'dil"?

Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh. Ustadz, sebenarnya saya agak kurang senang membahas jarh wa ta'dil. Hingga terjadi saling vonis di antara ikhwah yang satu bilang Sururi, yang lain bilang Haddadi. Menurut saya justru itu membuang waktu, karena masih banyak hal tentang agama ini (yang pokok) yang belum saya ketahui. Sehingga saya selalu mengenyampingkan masalah jarh wa ta'dil, apakah sikap saya salah? Bagaimana dengan "Lihatlah apa yang disampaikan, jangan lihat siapa yang menyampaikan"? Mohon sekali pencerahannya ustadz, ini sungguh persoalan yang membuat saya cukup kalut. Mungkin karena keterbatasan ilmu dan kurangnya pemahaman. Semoga Allaah senantiasa memberkahi ilmu ustadz, menjaga ustadz sekeluarga, dan memudahkan semua urusan ustadz. Barokallaahufiykum.

Jawab: Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. "Al-Jarh wat Ta'dil" (kritik dan rekomendasi) termasuk cabang ilmu yang sangat agung kedudukannya dalam syariat. Pasalnya hadits-hadits Nabi shollallahu 'alaihi wasallam sampai kepada kita secara akurat dan meyakinkan berkat ilmu al-jarh wat ta'dil. 

Begitupula al-haq dan ahlinya dapat terbedakan dari al-batil dan pengusungnya melalui pintu al-jarh wat ta'dil. Anda mengenal manhaj Salaf, mulianya tauhid,  indahnya sunnah, lurusnya aqidah, semua itu melalui ilmu al-jarh wat ta'dil. Maka sangat disayangkan bila dikatakan, "Kurang senang dengan ilmu al-jarh wat ta'dil. Namun kami berbaik sangka kepada Anda, mungkin saja Anda belum mengerti hakikat ilmu al-jarh wat ta'dil yang berlaku di kalangan Ulama. Jadi tetap sibukkan diri mempelajari ilmu syar'i tanpa mengenyampingkan perkara ini.

Adapun pemahaman Sururiyyah dan Haddadiyyah keduanya adalah bid'ah hizbiyyah yang telah peringatkan oleh para Ulama. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah berlepas diri dari orang yang memecah belah agamanya dan membikin hizbiyyah! (HR. Ahmad dalam "Musnadnya" dari Ummu Salamah)

Maka supaya Anda mengerti bahaya hizbiyyah dan betapa mulianya al-jarh wat ta'dil; perhatikan omongan dai-dai hizbiyyin masa kini yang berusaha menjauhkan umat dari para Ulama:

1. Abdurrohman Abdul Kholiq mencela Al-'Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi (guru Syaikh bin Baz, Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad dan para Ulama lainnya) dengan mengatakan, "Dia seperti perpustakaan berjalan namun sudah kuno cetakannya dan perlu direvisi!" (Khuthuth Ro'isiyyah Liba’tsil Ummatil Islamiyyah hal. 78)

Abdurrohman Abdul Kholiq juga berkata, "Ulama Salafiyyin hanyalah Ulama haid dan nifas saja!" (Idem hal. 40)

2. Salman Al-'Audah menuding Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-Utsaimin bukan rujukan ilmiyyah yang shohih dan terpercaya." (Majalah Al-Ishlah Al-Imarotiyyah edisi 223-228/ 1-3 hal. 11)

3. Safar Al-Hawali menuduh Syaikh bin Baz dan Syaikh Al-'Utsaimin tidak mengerti fiqhul waqi’ (fiqh realitas)." (Dari kaset "Fafirru" 2)

4. Muhammad Mis’ari, “Menurutku Syaikh bin Baz telah sampai pada fase kerusakan akal karena usianya yang sudah tua.” (Statement "Lajnah Difa’ ‘an Huquq Syar’iyyah)

Betapa keji celotehan mereka terhadap para Ulama sementara ahlul batil mereka puji setinggi langit dan selalu disikapi dengan baik sangka. Mereka adalah ahlul bid'ah yang sesungguhnya sebagaimana yang dinyatakan Al-Imam Abu Hatim Ar-Rozi, "Ciri ahli bid'ah adalah mencela ahli atsar!"

Mereka geram jika Salafiyyin mentahdzir ahlul bid'ah, namun mereka sumpah serapah mentahdzir para Ulama yang sangat besar jasanya terhadap kaum Muslimin termasuk diri-diri mereka sendiri. Adapun memvonis si Fulan Sururi atau si 'Allan Haddadi maka tentu harus berdasarkan bukti yang menunjukkannya.

Mengenai ungkapan, "Lihatlah apa yang disampaikan, jangan melihat siapa yang menyampaikan" maka ini berkaitan dengan menerima kebenaran yang bisa datang dari siapa saja, selama dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiyyah sebagai kebenaran. Sedangkan mengambil ilmu maka para Ulama telah sepakat, "Ilmu itu agama, maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu!". Bahkan Imam Malik sangat keras melarang mengambil ilmu dari ahlul bid'ah karena menyimpangnya manhaj dan aqidah mereka. Maka selektif dalam mengambil ilmu itu penting jangan sampai kita anggap sebagai perkara yang sederhana.

Ini yang menjadi alasan kami menyinggung pembahasan al-jarh wat ta'dil dengan tetap merujuk kepada bimbingan para Ulama. Tidak setiap orang diizinkan berbicara masalah al-jarh wat ta'dil, di sana ada syarat-syarat dan kaidah-kaidah yang wajib diperhatikan. Sama halnya dengan menjarh seseorang juga ada tingkatan-tingkatannya, tidak semuanya diserahkan kepada para Ulama. 

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar