Rabu, 08 Juli 2015

Jalan Keluar dari Perpecahan

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu, ia berkata:


قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظة مودع

“Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menasehati kami dengan sebuah nasehat yang membuat gemetar hati-hati kami dan meneteskan air mata kami. Maka kami katakan, “Wahai Rosulullah seakan-akan ini sebuah nasehat perpisahan, maka berilah nasehati untuk kami.


قال أوصيكم بتقوى الله عز و جل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد

Beliau  berkata, “Aku wasiatkan agar kalian bertaqwa kepada Allah ‘azza wa jalla, dan hendaklah kalian mendengar dan taat meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak (hamba sahaya).


فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

Karena sesungguhnya barangsiapa yang masih hidup sepeninggal aku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’rrosyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku, gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 dan beliau berkata,  “Hadits Hasan Shohih.” Syaikh Al-Albani menshohihkannya dalam "Shohihul Jami’" 2546)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memberi wasiat kepada para Shohabatnya dengan sebuah nasehat peringatan yang sangat menyentuh hati mereka. Sehingga dengan sebab itu hati mereka gemetar,  dan bercucuran air mata karenanya. (Syarh Al-’Arba'in An-Nawawiyyah - Ibnu Daqiqil ‘Ied dan Syaikh Al-‘Utsaimin)

Hal itu adalah sifat orang-orang beriman sebagaimana yang telah Allah puji dalam firman-Nya, “Hanyalah orang-orang beriman itu apabila disebut nama Allah menjadi gemetar hati-hati mereka, dan apabila dibacakan atas mereka ayat-ayat-Nya semakin bertambah keimanan mereka…” (Al-Anfal: 2) (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 337)

Nasehat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dipahami oleh para Shohabatnya sebagai nasehat perpisahan karena begitu mendalamnya peringatan yang beliau sampaikan. Seolah nasehat seperti itu belum pernah disampaikan kepada orang selain mereka. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 338)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan untuk bertaqwa kepada Allah. Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu menerangkan makna taqwa, "Allah ditaati dan tidak didurhakai, Allah diingat dan tidak dilupakan, Allah disyukuri dan tidak diingkari nikmat-Nya." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim - Tafsir Ibnu Katsir dsurat Al-‘Imron 102) Serta taat kepada penguasa mereka dalam kebaikan, sebagaimana sabda beliau, “Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhori 4340 & Muslim 1840)

Ibnu Rojab Al-Hanbali menerangkan, "Bahwa dalam wasiat beliau tersebut berkumpul padanya kebahagiaan dunia akhirat. Taqwa merupakan jaminan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan ketaqwaan adalah wasiat Allah kepada orang-orang baik generasi pertama  maupun terakhir. Allah berfirman, “Sungguh telah Kami wasiatkan kepada orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu agar bertaqwa kepada Allah.” (An-Nisa’: 131)

Adapun perintah untuk tetap mendengar dan taat kepada para penguasa hanyalah yang dimaksud para penguasa Muslim. Karena pada mereka ada jaminan kebahagiaan hidup di dunia, dan dengannya akan terwujud kemaslahatan hidup orang banyak. Dan mereka akan menolong kaum Muslimin dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar agama dan ketaatan kepada Robb-nya. (Jami’ul Ulum wal Hikam 339)

Meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak (hamba sahaya) dalam riwayat lain “meskipun seorang budak dari negeri Habasyah” (Al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah 1/141). Yakni secara hukum seorang budak tidak memenuhi kriteria untuk menjadi seorang penguasa. Dan telah tsabit sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

“Kepemimpinan itu dari kalangan Quroisy.” (Riwayat Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 5/191)

Namun demikian kita tetap diperintah untuk taat kepada penguasa muslim tersebut dalam perkara yang ma’ruf, sekalipun mereka diangkat melalui sistem kepemimpinan yang bertolak belakang dengan prinsip syari’at. Hal itu  berdasarkan keumuman firman Allah ta’aala:

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah oleh kalian Allah dan taatilah oleh kalian Rasul-Nya dan Ulil Amri (para penguasa) di antara kalian.” (An-Nisa’: 59) (Syarh Al-’Arba'in An-Nawawiyyah - Syaikh Al-‘Utsaimin)

Bahkan lebih tegas lagi Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk taat kepada penguasa dalam perkara yang ma’ruf sekalipun penguasa itu berhati setan dalam jasad manusia, “Akan ada para penguasa yang tidak berpegang dengan bimbinganku dan tidak berpedoman dengan ajaranku, dan akan muncul penguasa di kalangan kaum muslimin dari orang-orang yang hatinya hati setan dalam tubuh manusia.” Hudzaifah menceritakan, Aku tanyakan kepada beliau, “Apa yang harus aku lakukan bila aku mendapati keadaan yang demikian itu?” beliau pun menjawab, “Hendaknya kamu tetap mendengar perintah penguasa itu dan mentaatinya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Muslim 3435)

Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang semakna dengan hadits tersebut. Semua itu menunjukkan betapa besar perhatian Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik para Shohabatnya agar mendengar dan taat kepada penguasa muslim sekalipun zalim terhadap hak rakyatnya. Karena memang kezaliman penguasa selama satu tahun masih lebih baik bila dibandingkan dengan ketiadaan penguasa sama sekali meskipun hanya sehari. Begitu pula mafsadah yang timbul akibat pemberontakan terhadap penguasa sehingga menjadi sebab fitnah pertumpahan darah di antara kaum muslimin. Hal itu sungguh lebih dahsyat ketimbang mafsadah penderitaan dalam menyikapi penguasanya yang zalim tersebut dengan sabar yakni menahan segala perkataan dan tindakan yang semakin memperberat penderitaan.

Akan tetapi perlu dicamkan di sini, bahwa memberontak kepada penguasa tidaklah dilarang secara mutlak. Sebab para Ulama, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqolani, Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Taimiyyah, serta para Ulama masa kini semisal Syaikh bin Baz, Syaikh Al-Albani, Syaikh Al-'Utsaimin, Syaikh Muqbil dan yang lainnya tegas mengatakan bolehnya memberontak jika terpenuhi syarat-syaratnya. Yaitu nampak "kufrun bawah" (kekafiran yang nyata) pada penguasa tersebut, mampu menggulingkan kekuasaannya, dapat menggantikannya dengan penguasa yang lebih baik, serta tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar.

Maka suatu kesalahan bila diklaim secara mutlak setiap orang yang melakukan pemberontakan berarti Khowarij, tanpa merinci permasalahannya sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil serta meninjau terlebih dahulu apa yang menjadi motif mereka. Adapun ciri utama pemahaman Khowarij adalah takfir, yaitu ghuluw (melampui batas) dalam memvonis kafir, atau memvonis kafir kaum Muslimin yang tidak sejalan dengan pemahamannya. Sedangkan manhaj Ahlussunnah ialah memvonis kafir semua pihak yang divonis kafir oleh Allah dan Rosul-Nya (berdasarkan dalil). Serta tidak bermudah-mudahan dalam memvonis kafir secara ta’yin (person tertentu) hingga terpenuhi syarat-syaratnya dan terangkat penghalang-penghalangnya.

“Barangsiapa yang masih hidup sepeninggal aku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Dalam riwayat Ibnu Abi ‘Ashim “perselisihan yang keras” (As-Sunnah no. 55) Maka wajib atas kalian (ketika melihat perselisihan itu) berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafaa'ur Raasyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku, gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu…”

Al-Imam Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowi menerangkan, "Di sini ada isyarat (dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam) akan munculnya kebid’ahan-kebid’ahan dan pemahaman-pemahaman yang didominasi oleh hawa nafsu -wallahu a’lam-. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah para Khulafa’urrosyidin Al-Mahdiyyin dan berpegang teguh dengan sunnah-sunnah tersebut (Syarhussunnah 1/142)

Maka berpegang teguh dengan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah Khulafa'urrosyidin Al-Mahdiyyin adalah kunci keselamatan serta jalan keluar dari perpecahan. Sedangkan pengertian sunnah Nabi adalah ajaran-ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam yang wajib kita berpegang teguh dengannya, sebagaimana yang disampaikan Imam Mak-hul rohimahullah:

“As-Sunah itu ada dua macam, yakni sunnah yang wajib kita berpegang dengannya dan meninggalkannya adalah kufur, (yang kedua) adalah sunnah yang bila mengerjakannya mendapat keutamaan dan meninggalkannya tidak berdosa.” (Asy-Syari’ah Al-Imam Al-Ajurri 1/424 no.108)

Kemudian sunnah para Khulafa'urrosyidin Al-Mahdiyyin adalah sunnahnya para penguasa yang terbimbing di jalan Allah dan mendapat petunjuk dari Allah untuk mengikuti al-haq. Yaitu Abu Bakr, ‘Umar bin Al-Khottho, ‘Utsmaan bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Tholib (Sunan Abu Dawud 4646 dan Silsilah Al-Ahadits As-Shohihah 1/820–827 hadits 459)

Al-Imam Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghowi menerangkan, "Mereka Khulafa’urrosyidin adalah seutama-utama manusia setelah para Nabi dan para Rosul shollallahu ‘alaihim. Urutan mereka dalam keutamaan seperti urutan mereka dalam kekhilafahan, maka yang paling utama di antara mereka adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan kemudian Ali." (Syarhussunnah 1/142)

Berpegang teguh dengan sunnah para Khulafa’urrosyidin maknanya merujuk kepada pemahaman mereka dalam memahami sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam. Para Shohabat Nabi telah bersepakat atas kepemimpinan mereka. Al-Mubarokfuri berkata, “Mereka para Khulafa’urrosyidin itu beramal dengan sunnah Nabi dan mengambil kesimpulan hukum daripadanya, dan memilih sunnah itu sebagai keputusannya.” (Tuhfatul Ahwadzi 7/440)

“Hati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat. Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata, "Sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan tahdzir (peringatan bagi umat) dari bahaya mengikuti perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Dan hal ini dikuatkan dengan sabda beliau, “Setiap bid’ah itu sesat”. Sedangkan pengertian bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada asal-usulnya dalam syari’at. Adapun jika memang ada asalnya dari syari’at yang menjadi dalil atasnya, maka tidaklah dikatakan bid’ah secara syar’i." (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam 345)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar