Selasa, 14 Juli 2015

Hukum Minum Susu Isteri

Seorang suami tidak dilarang menikmati air susu isterinya. Hal ini berdasarkan kaidah, "Hukum asal segala sesuatu diperbolehkan sampai ada dalil yang menunjukkan larangannya." Dan dalam hal ini tidak ada dalil larangan sehingga yang berlaku hukum asal.

Minum susu isteri juga tidak mengakibatkan hubungan mahrom karena tidak dilakukan dalam dua tahun pasca kelahiran dan bukan susu yang menumbuhkan daging.

Hal ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud rodhiyallahu 'anhu ketika beliau ditanya tentang seorang suami  yang minum susu isterimya, beliau berkata, “Persusuan yang menyebabkan hubungan mahrom adalah yang menumbuhkan daging dan darah.” (Riwayat Abdurrozzaq dalam “Al-Mushonnaf” 7/463)

Ibnu Umar rodhiyallahu 'anhu juga berkata, “Tidak ada persusuan (mahrom) kecuali persusuan sewaktu bayi. Tidak ada persusuan setelah besar yang mengakibatkan hubungan mahrom.” (Riwayat Malik dalam “Al-Muwattho’ 2/603 sanadnya shohih)

Maka persusuan yang menjadikan hubungan mahrom adalah persusuan sewaktu bayi di bawah umur dua tahun. Hal itu berdasarkan sabda Nabi ﷺ, "Tidaklah tergolong persusuan kecuali dalam waktu dua tahun.” (HR. Al-Baihaqi 1544)

Al-Imam At-Tirmidzi berkata, "Mayoritas Ulama dari kalangan Shohabat maupun selain mereka menegaskan bahwa persusuan tidaklah mengakibatkan mahrom kecuali terjadi di bawah dua tahun." (Sunan At-Tirmidzi hadits nomor 1072)

Bolehnya suami meminum susu isterinya juga telah difatwakan oleh para Ulama kontemporer antara lain Syaikh Al-'Allamah Abdurrozzaq Afifi,  beliau berkata, “Suami boleh minum air susu isterinya karena air susunya halal. Hal itu tidak mengakibatkan hubungan mahrom sebab tidak dalam masa dua tahun pasca kelahiran.” (Fatawa wa Rosa’il 1-2/478)

Lalu bagaimana dengan hadits riwayat Muslim dalam Shohihnya nomor 1453 terkait Salim mantan budak Abu Hudzaifah yang minum perahan susu Sahlah binti Suhail (isteri Abu Hudzaifah) sehingga berlaku hubungan mahrom di antara keduanya? 

Hal itu dilakukan atas perintah Rosulullah ﷺ karena Salim sering bolak-balik masuk ke rumah Abu Hudzaifah?

Jawabannya, sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, “Hadits tersebut bukanlah hadits yang “mansukh” (dihapus hukumnya), juga bukan hadits yang bersifat khusus (yakni hanya berlaku bagi Salim), namun tidak juga berlaku umum bagi setiap orang. 

Akan tetapi hal itu sebagai rukhshoh (keringanan) lantaran adanya kebutuhan untuk masuk menemui seorang wanita yang dalam kondisi sulit bagi wanita untuk berhijab darinya.” (Zadul Ma’ad 5/593)

Al-‘Allamah Asy-Syaukani menjelaskan, “Kesimpulan dari hadits Salim tersebut berlaku bagi mereka yang dihadapkan oleh adanya kebutuhan. Yakni bagi orang yang berkebutuhan memasukkan orang lain ke dalam rumahnya dalam kondisi sangat dibutuhkan bolak-balik masuk ke dalam rumahnya karena adanya keperluan atau kemaslahatan. 

Maka siapa saja yang menentang hal ini tanpa dalil yang jelas berarti dia telah membantah Rosulullah  dan syariatnya yang suci. Dan bagi yang memahami riwayat ini sebagai pengkhususan untuk Salim semata, berarti dia telah mendatangkan sesuatu yang tidak dapat diterima oleh nalar yang benar. Bahkan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam ushul fiqh.” (Nailul Author 3/353)

Kesimpulannya, persusuan terhadap anak kecil adalah sebagai “taghdziyah” pemberian makan yang menumbuhkan daging dan darah. 

Sedangkan susuan terhadap orang dewasa yang mengakibatkan mahrom karena adanya kebutuhan sebagaimana riwayat Salim. 

Adapun suami meminum susu isterinya adalah kenikmatan yang dihalalkan dalam berhubungan. 

Demikian, cara para Ulama mengkompromikan riwayat-riwayat yang kelihatannya saling bertentangan.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar