Rabu, 08 Juli 2015

Apakah Jubah, Peci Putih, Termasuk Pakaian Syuhroh?

Apa yang dimaksud dengan pakaian “syuhrah”? Apakah memakai jubah putih, peci putih atau gamis saat ini termasuk pakaian “syuhrah”? Sebagian orang beralasan dengan fatwa Syaikh Utsaimin agar pakai batik dan peci hitam karena itu pakaian yang tidak menyelisih adat, lebih mencocoki sunnah dan tidak membuat orang lari dari dakwah? Mohon penjelasannya Ustadz, jazakumullah khoir.

Jawab: Berkenaan dengan pakaian Syuhroh, diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من لبس ثوب شهرة في الدنيا ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة

“Barangsiapa yang mengenakan pakaian syuhroh di dunia, maka Allah akan kenakan padanya pakaian kehinaan pada hari Kiamat..” (HR. Abu Dawud 4029, dan Ibnu Majah 3607 dengan sanad "hasan lighoirih”)

Apa yang dimaksud dengan pakaian syuhroh? Al-Imam As-Suyuthi menjelaskan:

ما يقصد به التفاخر والتكبر أو يتخذه المتزهد ليشهر نفسه بالزهد

“Pakaian syuhroh adalah pakaian yang dikenakan dengan niat berbangga diri dan kesombongan, atau pakaian orang zuhud yang dia kenakan dengan niat agar dirinya dikenal dengan kezuhudan." (Syarh Sunan Ibni Majah no. 3606)

Abu Malik Kamal berkata, “Pakaian syuhroh adalah semua pakaian yang dikenakan dengan niat mencari popularitas di tengah manusia. Sama saja, apakah pakaian bagus yang dikenakan dalam rangka berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, ataukah pakaian yang rendah mutunya yang digunakan dalam rangka menampakkan kezuhudan dan riya'.” (Shohih Fiqhussunnah 3/37)

Al-Imam Muhammad Syamsul Haq Al-Adzhim Abadi mempunyai pendapat yang sedikit berbeda:

الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر

“Ibnul Atsir berkata, “Asy-Syuhroh maknanya menampakkan sesuatu dan yang dimaksud pakaian syuhrah adalah pakaian yang mencolok di antara manusia karena berbeda warnanya dengan warna pakaian kebanyakan orang, sehingga orang-orang menatap dirinya lantas dia merasa ‘ujub (bangga diri) dan bersombong dengan pakaiannya itu.” ('Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud no. 4029)

Bila disimpulkan, pakaian syuhroh adalah pakaian yang diniatkan untuk mencari ketenaran; baik pakaian yang indah atau pakaian yang lusuh sehingga orang mencirikan dirinya dengan pakaiannya tersebut. Atau pakaian mencolok yang dipakai untuk berbangga diri atau bersombong di hadapan manusia.

Jadi memakai jubah maupun batik bila niatnya untuk mencari ketenaran, bangga diri, kesombongan, maka semua itu termasuk syuhroh. Sangat jauh dari kebenaran bila semata-mata memakai jubah dan peci putih diklaim sebagai pakaian syuhroh atau bahkan dianggap inti larangan syuhroh.

Andaikata memakai jubah dan peci putih dinilai menyelisihi kebiasaan setempat dan orang-orang merasa aneh dengannya, maka ini juga bukan kesimpulan yang tepat. Karena jubah dan peci putih sesungguhnya telah dikenal di Indonesia sejak lama, sejak zaman kolonial, bahkan lebih jauh lagi. Tidak sedikit dari tokoh-tokoh perjuangan di masa silam yang kesehariannya memakai jubah putih dan bersorban. Bahkan ahlul bid'ah banyak yang berjubah putih untuk mendekati masyarakat dan mempengaruhi penguasa. 

Begitupula umat Islam Indonesia banyak yang tiap bulannya pergi umroh dan tiap tahun berangkat haji, lalu kembali ke tanah air dengan berjubah dan bersorban. Semua itu menunjukkan pakaian jubah dan peci putih bukan hal yang asing di tengah masyarakat. Dan pakaian berwarna putih adalah pakaian yang paling utama sebagaimana disabdakan Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

“Kenakanlah oleh kalian pakaian-pakaian yang berwarna putih, karena itu termasuk pakaian yang paling baik.” (HR. Abu Dawud no. 4061 dan At-Tirmidzi no. 994)

Sebab itu paraUlama mengatakan pakaian putih adalah lambang kesucian dan kejujuran.

Lalu bagaimana dengan keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin tentang pakaian syuhroh? Berikut kami nukilkan fatwa-fatwa beliau:

حدثونا عن ثوب الشهرة عن كيفيته وصفته حتى نتجنبه؟

فأجاب رحمه الله تعالى : ثوب الشهرة ليس له كيفية معينة أو صفة معينة وإنما يراد بثوب الشهرة ما يشتهر به الإنسان أو يشار إليه بسببه فيكون متحدث الناس في المجالس فلان لبس كذا فلان لبس كذا وبناء على ذلك قد يكون الثوب الواحد شهرة في حق إنسان وليس شهرة في حق الآخر فلباس الشهرة إذن هوما يكون خارجا عن عادات الناس بحيث يشتهر لابسه وتلوكه الألسن وإنما جاء النهي عن لباس الشهرة لئلا يكون ذلك سببا لغيبة الإنسان وإثم الناس بغيبته.


Soal: Terangkan kepada kami tentang makna pakaian Syuhroh? Cara berpakaiannya, bentuknya, supaya kami dapat menghindarinya?

Jawab: Pakaian syuhroh tidaklah memiliki cara tertentu dalam memakainya maupun bentuk atau sifat tertentu. Hanyalah yang dimaksud dengan pakaian syuhroh itu adalah pakaian yang dikenakan seseorang sehingga dia menjadi tersohor dengan penampilannya, atau menjadi sebab perbincangan khalayak ramai di majelis-majelis, “Pakaian si Fulan begini Pakaian si Fulan begitu!” Namun terkadang ada pakaian seseorang yang tergolong syuhroh bila dia kenakan, tetapi tidak dianggap syuhroh ketika dipakai oleh orang yang lain. Jadi yang dimaksud dengan pakaian syuhroh di sini adalah pakaian yang menyelisihi kebiasaan setempat. Hal itu dilihat dari sisi tersohornya orang yang memakainya dan menjadi sebab perbincangan khalayak. Adapun dilarangnya berpakaian syuhroh agar orang yang memakainya tidak menjadi sebab ghibah atau pergunjingan; dan orang tidak terjatuh dalam dosa dengan perbuatan ghibahnya itu. (Fatawa Az-Zinah wal Mar’ah – Ahkamu Libasil Mar’ah 23 – Fatawa Nur ‘ala Darb)

Beliau juga berkata:

اللهم إلا إذا كان في بلد غريب وكان لباس أهل هذا البلد يخالف لباس هذا الرجل القادم إليهم فحينئذٍ لا بأس أن يبقى على لباسه في بلده لأن الناس يعرفون أن هذا رجل غريب وأنه لا غرابة أن يكون لباسه مخالفاً للباسهم كما يوجد الآن عندنا

“Kecuali apabila dari luar negeri, orang yang berpakaian dengan pakaian penduduk negeri berbeda dengan pakaian orang yang datang dari luar negeri tersebut. Maka dalam keadaan seperti itu tidaklah mengapa dia tetap memakai pakaian negerinya. Sebab orang-orang mengerti bahwa ia berasal dari luar, dan tidak ada keanehan ketika ia mengenakan pakaian negerinya itu berbeda dengan pakaian penduduk setempat sebagaimana yang sering kita saksikan.” (Fatawa Mustholahul Hadits wa Ushul Fiqh – Syuruhul Hadits wal Hukm  ‘alaiha 110 – Fatawa Nur ‘ala Darb)

السؤال: بارك الله فيكم نشاهد البعض من الناس يقصر ثوبه ويطيل السروال فما ترون في ذلك فضيلة الشيخ؟ فأجاب رحمه الله تعالى : نرى أنه لا حرج في ذلك ما دام السروال لم ينزل عن الكعبين إلا أن يكون هذا اللباس شهرة بحيث يشتهر به بين الناس بحيث يقال فلان يلبس على هذه الكيفية

Soal: Barokallah fikum, kami menyaksikan sebagian orang memendekkan jubahnya dan memanjangkan sirwalnya, bagaimana pandangan Anda tentang cara berpakaian seperti itu ya Syaikh?

Jawab: Menurut kami hal itu tidak mengapa selama sirwalnya tidak isbal (berada di bawah mata kaki). Kecuali jika cara berpakaian seperti itu membuat dirinya menjadi tersohor lantas orang lain membincangkannya. Itu yang dimaksud dengan pakaian syuhroh. (Fatawa Az-Zinah wal Mar’ah – Al-Isbal 21 – Fatawa Nur ‘ala Darb)

Bila disimpulkan dari keterangan Asy-Syaikh di atas, bahwa pakaian syuhroh tidaklah memiliki cara, model atau bentuk tertentu serta tidak mutlak menyelisihi kebiasaan setempat. Akan tetapi pakaian yang dikenakannya itu menjadi sebab tersohornya seseorang dan menjadi sebab pergunjingan khalayak. Lantas adakah jubah putih dan peci putih yang dipakai saat ini di Indonesia menjadi sebab tersohornya seseorang dan menjadi bahan pergunjingan?!

Apa yang terjadi bila seandainya Syaikh Al-‘Utsamin disodorkan batik yang penuh corak serta peci hitam dikatakan lebih menepati sunnah dengan dalih fatwa beliau?!

Bukankah batik yang dikenakan untuk shalat berjamaah itu justru mengganggu kekhusuyuan dibanding jubah yang berwarna putih?!

Bukankah batik dan peci hitam yang dipakainya itu bisa tergolong syuhroh manakala pakaian seperti itu dikenakan saat mengisi kajian yang umumnya hadirin memakai gamis, jubah dan peci putih?!

Alhasil, fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin tidaklah sejajar kedudukannya dengan dalil Al-Qur’an was Sunnah dalam menentukan suatu perkara itu sunnah atau bukan. Kendati demikian, kita tetap menghargai beliau dan menghormati kedudukan beliau sebagai seorang Ulama yang tidak diragukan lagi kedalaman ilmunya dan kefaqihannya. Dan kami memakai jubah putih bukanlah karena alasan mengikuti adat orang Arab, akan tetapi kami niatkan untuk menyerupai Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam karena, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum itu.” Wa billahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

1 komentar: