Selasa, 11 Agustus 2015

Hilal Menentukan Awal & Akhir Romadhon

Pengertian hilal ialah terlihatnya bulan yang nampak sejenak seperti satu garis lengkung tipis di setiap awal hitungan bulan Qomariyyah.

Dari Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhuma, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه. فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له

“Janganlah kalian mulai berpuasa hingga kalian melihat hilal (tanggal satu Romadhon), dan janganlah kalian berbuka (yakni mengakhiri ibadah puasa) hingga kalian melihat hilal (tanggal satu Syawwal). Namun bila hilal terhalang awan sehingga kalian tidak dapat melihatnya, maka perkirakanlah ia." (HR. Al-Bukhori 4/119 dan Muslim 1080)

Memperkirakan yakni dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh hari, sehingga hari berikutnya jatuh tanggal satu Romadhon. Dan bila mendung itu di akhir Romadhon, maka bulan Romadhon digenapkan menjadi tigapuluh hari, sehingga hari berikutnya pasti tanggal satu Syawwal. Ini yang dimaksud dengan "istikmal". Dalam riwayat lain:

فإن غُمّ عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

“Jika hilal terhalang awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tigapuluh hari.”

Syaikh Abdullah Al-Fawzan hafidzhahullah menerangkan, "Hadits ini menjadi dalil wajibnya berpuasa Romadhon setelah melihat hilal secara syar’i. Hadits ini juga menunjukkan wajibnya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tigapuluh hari jika cuaca mendung sehingga hilal bulan Romadhon tidak terlihat secara langsung. Demikian pula wajib menyempurnakan bulan Romadhon menjadi tigapuluh hari, jika cuaca mendung sehingga hilal Syawwal tidak terlihat.

Akan tetapi bila seseorang telah melihat hilal yang dia pastikan berdasarkan persaksiannya, maka yang demikian itu dapat menjadi patokan secara hukum.

Kemudian tidak boleh berpuasa pada hari ke tigapuluh dari bulan Sya’ban jika hilal tertutup awan. Karena malam tersebut masih terhitung bulan Sya’ban, dan tidaklah masuk bulan Romadhon kecuali secara meyakinkan. 

Hal itu sebagaimana disampaikan oleh ‘Ammar bin Yasir rodhiyallahu ‘anhu, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang meragukan maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam).” (HR. Al-Bukhori secara mu’allaq 4/119, Abu Dawud berkata, riwayatnya maushul 6/457, At-Tirmidzi 3/365 berkata, “Hadits Hasan Shohih”. Hadits ini juga dikeluarkan oleh An-Nasa’i, Ibnu Majah dan selainnya. Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam “Taghliqut Ta’liq" 3/141 berkata, hadits ini shohih dan ada syawahidnya serta mutaba’at. Ad-Daruquthni dalam Sunannya 2/157 berkata, hadits ini sanadnya shohih dan seluruh rawinya tsiqoh).

Jadi penentuan hilal tidaklah bergantung kepada ahli hisab, karena Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam mengaitkan hukum dengan ru’yah (melihat langsung), bukan melalui perantara ilmu hisab. Dan metode ru’yah ini dapat dijangkau oleh semua kalangan, baik yang khusus maupun umum, yang jahil maupun yang ‘alim, dan ini adalah kemudahan syariat Allah, wa lillahil hamd.

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa mulai berpuasa dan berbuka (yakni mengakhiri Romadhon) tidak wajib hukumnya bagi orang yang tinggal jauh dari tempat ru’yah. Berhubung tempat munculnya hilal pada setiap negeri berbeda-beda. Sedangkan syariat mengaitkan penentuan hukum dengan ru’yah. Artinya bila di sini belum nampak hilal maka tidak bisa ditetapkan secara hukum, sekalipun pokok pembicaraan hadits tersebut ditujukan kepada seluruh kaum Muslimin.

Maka mulai berpuasa dan mengakhirinya, hukumnya berlaku bila terwujudnya sebab yaitu ru’yah. Bagi kaum muslimin yang telah melihat hilal wajib bagi mereka mulai berpuasa. Namun jika sebabnya belum terwujud, maka tidak ada kewajiban atas mereka. Hal itu sama seperti penentuan waktu sholat yang pada setiap negeri berbeda-beda, wallahu a’lam. (Ahaditsus Shiyam hal. 5-6)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar